Informasi seputar Cileungsi Jawa Barat & sekitarnya
Ingin megiklankan produk Anda ?
Segera email ke wartamampir@yahoo.com

spr

...................................................... PPC Iklan Blogger Indonesia ....................................................

...................................................... ..................... ..............

Tuesday 9 August 2011

DAJAL & SIMBOL SETAN ( Bab V )


Bab V
DAKWAH PERSAUDARAAN

"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi,
pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan. Dan untuk
menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
menjadi cahaya yang menerangi."  (al-Ahzab: 45).

Menghadapi gerakan konspirasi Dajal yang bersifat global hanya dapat dilawan dengan kerinduan dan upaya kontinu kepada persatuan dan persaudaraan Islam yang sebenarnya. Dalam sebuah barisan yang kokoh bagaikan benteng yang kuat, umat Islam harus mampu menghimpun diri dan mewaspadai seluruh "jarum-jarum racun" serta "ranjau budaya" yang begitu halus menyelusup di setiap pori-pori tubuh manusia yang ditebarkan kaum Dajal. Mereka tidak hanya menyebarkan ideologi pemikiran bebas dan membongkar keimanan umat Islam dengan segala perangkatnya, tetapi mereka juga mengadu-domba dan memecah-belah diantara sesama kaum Muslimin melalui penyebaran fitnah.

Jaringan zionisme Dajal yang akan memecah-belah kesatuan dan persatuan umat harus dilawan dengan dakwah persaudaraan, yaitu seruan dan ajakan yang ditujukan kepada sesama Muslim dalam rangka menumbuhkan semangat persaudaraan sebagai salah satu tali perekat persatuan umat.

Dalam program ini, gerakan dakwah harus memprioritaskan pencerahan keilmuan, kecintaan terhadap agama, akhlak karimah, serta semangat ksatria (futuwah) atas dasar persaudaraan. Dengan kata lain, program dakwah yang disusun oleh jamaah sebaiknya berorientasikan pada satu tahapan (marhalah) yang sistematis untuk mewujudkan kualitas sumber daya insani yang mampu menghadapi racun-racun Dajal yang akan meracuni mentalitas, akhlak, serta arah perilaku generasi muda yang semakin dijauhkannya dari semangat jihad, dan cara berpikir berdasarkan Al-Qur'an.

Gerakan dakwah yang dikoordinasikan oleh satu lembaga ko­ordinasikan dakwah Islamiyah atau lembaga yang kredibel harus diupayakan dengan sangat sungguh-sungguh, karena inilah kunci keberhasilan melawan kaum Dajal zionis yang sangat kompak dan menguasai hampir setiap pelosok kehidupan.

Dakwah persaudaraan yang bersifat universal (rahmatan lil-alamin) harus mampu bersaing dengan propaganda Dajal. Dengan dakwah juga diupayakan merebut simpati semua golongan dalam tubuh umat Islam dan umat lainnya dalam rangka membangun citra dunia Dakwah yang memikat dan mengikat dalam satu pandangan yang utuh dan sempurna (syamil kamil) diupayakan agar jalan menuju pada persatuan umat menjadi lebih terbentang di hadapan kita. Setidak-tidaknya, dalam suasana penuh persaudaraan dan tidak teganggu oleh konflik-konflik diantara sesama saudara maka akan melahirkan suasana kondusif, se­hingga melahirkan berbagai gagasan monumental sebagai warisan pencapaian keilmuan dan budaya bagi generasi yang akan datang. Sekaligus dapat membina kualitas umat agar mampu bersaing dengan umat yang lainnya.

Untuk itu, strategi dakwah persaudaraan jamaah harus menekan­kan kepada kerangka acuan yang mendasar dalam gerakannya, yaitu sebagai berikut:

1. Perbedaan paham diantara sesama muslim tidak menjadikan hambatan bagi dirinya untuk menyambung tali persaudaraan. Mereka sadar pada akhirnya hanya Allah jualah yang akan me­nentukan kata akhir dari perjalanan hidupnya. Mereka akan ber­bicara tentang hal-hal yang sama diantara sesama muslim. Cita-cita yang sama, gerakan atau program-program amaliah yang sama, dan berusaha terus untuk memperlebar kesamaan diantara mereka, serta tetap saling menghargai hal-hal operasional, yang secara prinsip tidak membedakan dirinya dengan yang lain. Kita semua telah terikat oleh satu semangat yang terus berkembang menuju pada pemahaman tauhid yang sama.

2. Ciri khas dari gerakan dakwah Islamiyah adalah perasaan cinta dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kemaslahatan umat Dia menyeru, mengimbau, melakukan persuasi, dan bukan meng­hakimi, menuding, mencaci-maki, apalagi memutuskan tali silatu­rahmi. Mereka sadar bahwa dakwah berdasarkan cinta telah men­dorongnya untuk mendatangi dan menyelamatkan. Sebaliknya, dakwah yang disulut oleh rasa benci akan menjauhkan dirinya. dari objek dakwah dan membiarkan manusia berenang dalam kesesatan. Mereka sadar bahwa dirinya bukan panglima perang yang didoktrin dengan propaganda kebencian untuk melemahkan mental musuh agar mudahlah baginya membunuh lawan sebanyak-banyaknya untuk memenangkan pertempuran. Dirinya adalah mujahid dakwah yang bertugas untuk menundukkan paham, sikap, dan pandangan orang lain agar menjadi kawan, bahkan sahabat yang akan mem­perkuat barisan jamaahnya.

3. Rasa persaudaraannya yang sangat mendalam telah mendorong dirinya untuk ikut mempelajari segala hal yang ada dalam lingkungan budayanya. Sehingga, menjadikan dirinya sebagai sumber ilmu yang luas pandangannya dan karenanya tidak cepat terburu nafsu menjatuhkan vonis. Dia mengetahui di mana dan kapan harus berbicara dan mengambil keputusan. Hanya dengan kekuatan akhlak, ilmu, dan pandangan yang luas, kita akan mampu menggerakkan program dakwah. Sebaliknya, keringnya keilmuan dan sempitnya wawasan, akan mendorong kita mengambil keputusan atau memecahkan berbagai persoalan secara sepihak. Maka setiap anggota jamaah adalah tipikal manusia yang selalu haus dalam mereguk tinta keilmuan, menapaki seluruh pelosok kehidupan, dan membaur di dalam masyarakatnya. Mereka bukanlah manusia yang mengisolasi diri, membuat hijab, seakan-akan dirinyalah yang paling benar, seraya menafikan atau mencemoohkan golongan yang lain.

Dengan semangat persaudaraan, bergeraklah kita untuk menjalin tali ukhuwah yang konkret dan membekas. Mewujudkan seluruh ayat dan hadits tentang tema-tema persaudaraan, tentang perasaan empati yang diungkapkan lewat makna "bersatunya raga". Membuka rasa tanggung jawab dan rasa cinta, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

"Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantaramu sehingga ia men­cintai saudaranya (sesama muslim), sebagaimana dia mencintai diri­nya sendiri." (HR Bukhari dan Muslim).

Lalu hal itu dilanjutkan dengan perasaan bahwa ada satu beban untuk terus mewujudkan satu program konkret dan membekas dalam diri jamaah muslim, yaitu makna dari ayat yang menjadi acuan kita bersama yaitu, "Sesungguhnya orang orang mukmin adalah bersaudara…" (al-Hujurat:10).

Perasaan ini menyebabkan para anggota jami'atul ikhwan dalam setiap gerakan dakwahnya, menghindari diri dari sikap menjatuhkan vonis, apalagi mengafirkan sesama muslim. Rasulullah saw memberikan peringatan yang sangat keras, seraya bersabda:

"Barangsiapa berkata kepada saudaranya, 'Hai kafir', maka berlakulah perkataan itu pada salah seorang dari keduanya." (al-Hadits).

Dalam hadits yang lain beliau bersabda, "Barangsiapa mengucapkan laailaha illallah, maka ia telah masuk Islam serta terpelihara jiwa dan hartanya. Kalaupun ia mengucapkan kalimat itu karena takut atau hendak berlindung dari tajamnya pedang, maka perhitungannya kepada Allah. Sedangkan bagi kita cukuplah dengan yang lahir (nyata)." (al-Hadits).

Bagi kita, cukuplah seseorang menjadi muslim dari apa yang tampak di permukaannya dan kewajiban kita adalah bersama-sama memberikan pencerahan dan jalan terang untuk membangun kualitas iman, akhlak, dan amaliahnya, sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariat. Karena itu pula, Nabi mengecam Usamah, ketika dia membunuh seseorang dalam suatu pertempuran, padahal orang yang dibunuh itu telah mengucapkan syahadat. Beliau bertanya, "Engkau membunuhnya, setelah ia mengucapkan lailaha illallah?" Usamah men­jawab, "Ia hanya mengucapkan kalimat itu karena hendak berlindung dari pukulan pedang." Maka beliau pun bertanya kembali, "Mengapa tidak engkau belah dadanya?" Kemudian Usamah berujar terus-menerus bahwa Nabi tidak putus-putusnya mengucapkannya sehingga aku sangat ingin seandainya baru hari itu aku menjadi seorang muslim." (al Hadits)

Tidak pelak lagi, persaudaraan adalah kuncinya persatuan, bahkan merupakan roh yang menghidupkan di dalam denyutan jantung ke­hidupan jamaah. Haru biru umat Islam, cerai-berai, dan terpuruk dalam kenelangsaan perpecahan yang hampir-hampir membuat konflik diantara sesama umat, dikarenakan roh persaudaraan hanyalah menjadi pemanis bibir belaka. Indah dalam pernyataan, tetapi hampa dalam kenyataan. Ini semua dikarenakan kita semua hampir menjadikan ayat dan hadits hanya sekadar barisan huruf dan kalimat untuk konsumsi hafalan verbal, pelengkap skripsi, dan bumbu penyedap dalam pidato semata-mata.

Membina masyarakat muslim, di mana siar dan keteladanan kolektif (uswah jama') harus tumbuh dari dasar kehidupan masyarakat yang dewasa ini telah terkotak-kotak, karena pengaruh budaya antar bangsa ­sebagaimana kita pun tidak bisa mengisolasi diri dari pengaruh era globalisasi dan kemajuan teknologi yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun makhluk manusia di muka bumi ini. Kehidupan kita adalah kehidupan yang penuh dengan segala informasi dan stimulasi yang diekspos melalui berbagai media elektronik yang setiap hari dirasakan bertambah maju. Antisipasi masyarakat atas pengaruh ini, tentu saja beragam dan penuh dengan goncangan.

Keagungan dan kesucian dakwah yang dibawakan oleh Rasulullah, ternyata mampu melahirkan satu generasi manusia, yaitu generasi para sahabat suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri dalam sejarah Islam dan dalam seluruh sejarah umat manusia. Kita mengenal berbagai tokoh dalam sejarah, tetapi sedikit sekali kisah dan keteladanan sejarah, sebagaimana dicontohkan oleh para pelopor dan para sahabat dalam kehidupan. Kenyataan ini harus menjadi pemikiran kita bersama, sebagai bahan renungan yang tajam dan saksama.

Ini Al-Qur'an, hadits, dan petuah serta tulisan para ulama berada di rak buku kita semua. Bertumpuk di perpustakaan dan dijajakan di toko-­toko buku, tetapi mengapa generasi itu tidak terlahir kembali? Apakah karena kita berasumsi, generasi itu terlahir oleh karena ada Rasulullah. Kalau asumsi ini dijadikan pegangan, lantas apakah Al-Qur'an itu hanya sebatas waktu dan tempat, serta karena adanya Rasulullah sebagai tokoh utama atau figur sentral? Lantas di manakah keyakinan kita bahwa Al-­Qur'an itu dapat berlaku sepanjang zaman?

Ketahuilah, sebenarnya bukanlah tokoh, waktu, dan tempat yang menjadikan kendala lahirnya generasi ini. Tetapi, kenyataannya justru sebaliknya bahwa sudah lama diantara kita tidak lagi bersikap kon­sekuen meniru perilaku dan gaya hidup serta metode Rasulullah. Padahal, ketika Siti Aisyah r.a. ditanya seperti apakah akhlak Rasulullah, ia menjawab, "Akhlak yang berdasarkan Al-Qur'an," (khuluquhul-Qur'an). Ini menandakan bahwa A1-Qur'an telah merasuk dan menjadi butir darah rasul dan diterima tanpa keraguan sedikit pun oleh para sahabat dengan penuh gairah dan kepatuhan yang mengagumkan. Mereka bersihkan jiwanya dengan Al-Qur'an. Mereka meluruskan shaf dan barisan masyarakatnya dengan Al-Qur'an. Hanya dengan Al-Qur'an, mereka merasakan hidupnya punya arti. Dalam kondisi apa pun hatinya tidak pernah kosong dari butiran Al-Qur'an. Inilah kunci rahasianya. Apalagi pada zaman sekarang ini sedang terjadi "pertempuran ideologi" manusia melawan akidah, yaitu perang antara keyakinan iman yang dipertentangkan dengan alam pikir empiris.

Hari ini dan di masa yang akan datang, perang berkecamuk bukan dengan senjata konvensional. Tetapi, perang hanyalah merupakan akibat saja dari pertarungan iman melawan keserakahan. Konflik abadi antara partai Allah (Hizbullah) yang berhadapan dengan pasukan kafir setan, yang tampil dan bersembunyi di balik jubah kesombongan serba materil. Seharusnya, kita menyimak kembali sejarah, ketika para sahabat atau rombongan pelopor awal (assabiqunal-awalun), yaitu pada saat mereka masuk dan memeluk Islam, mereka meninggalkan seluruh masa lalunya. Pada waktu mereka memeluk Islam, rriereka merasakan ada kehidupan baru dalam dirinya. Dia campakkan masa silamnya yang kotor, sehingga dirinya benar-benar merasa lahir kembali, pada saat mereka menghayati ikrar dua kalimat syahadat.

Kesadaran diri memeluk Islam membawa satu amanat bahwa mereka harus segera membuat garis yang tegas (al-furqan) antara yang hak dan yang batil. Memberanguskan perilaku jahiliah mereka yang lalu dan beralih menuju pada satu harapan manusia Qurani dengan berupaya untuk menjadikan seluruh ajaran Islam sebagai pedoman hidup (min­hajud-hayat) secara total.

Setiap pribadi muslim harus menghayati amanat dakwah ini. Seruan suci ini adalah kewajiban setiap pribadi muslim yang melekat pada identitas dirinya. Amanat dakwah adalah tugas dan harga diri seorang muslim. Sebab tanpa misi ini, hal itu akan menjadi sia-sia nilai keislaman dirinya di hadapan Allah. Sudah saatnya, kita semua mengisi qalbu dengan satu keyakinan bahwa Islam akan tegak dan menampakkan cahayanya, selama umat Islam peduli atas misi dakwah. Seharusnya, setiap pribadi muslim menyadari bahwa salah satu harga dirinya sangat bergantung pada prinsip untuk menyebarkan dakwah ini (an-nasyrul mabaadid-dakwah).

Bentuk perjuangan paling awal yang dilakukan oleh para nabi, khususnya Rasulullah saw, adalah perjuangan menyeru manusia untuk hanya memperhambakan dirinya kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah, "Hai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah.." (al-Muddatstsir: 1-3).

Perintah Allah tersebut membahana di seluruh relung dada Rasul, menyeruak dan membangkitkan satu kekuatan yang mahadahsyat untuk segera melaksanakan amanat dakwah. Pribadinya telah larut dalam tali kebenaran, batinnya luluh dalam harapan, dan mata batinnya benderang untuk mencari sasaran, dan kemudian menaburkan benih benih kasih sayang yang penuh dengan butir hikmah.

Kemudian diberitahulah perintah itu kepada istri Rasul bahwa beliau telah mendapatkan satu amanat yang mahaakbar Didatanginya sahabat sejak kecilnya, Abu Bakar ash-Shiddiq r a dan diusapnya kepala Ali bin Abu Thalib r a.. Dibinanya satu harakah pergerakan dakwah dari rumah ke rumah, yang dijadikannya sebagai "basis dakwah" paling awal untuk memupuk lezatnya tauhid dan tali persaudaraan dalam jamaah. Hal itu merupakan awal dari gerakan siar Islam yang sangat monumental.

Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Islam pada awal perkenalannya dianggap asing, dan kelak akan datang suatu masa di mana Islam akan dianggap asing kembali, maka berbahagialah wahai orang-orang asing, yaitu mereka yang selalu menghidupkan Sunnahku…"

Kita sadar bahwa dakwah adalah Sunnah Rasul. Kita takut akan mengkhianati amanat Nya dan Rasul-Nya, di mana kita tidak bisa berpangku tangan membiarkan kemungkaran. Demikian pula, kita sadar bahwa sebagai umat Islam tidak mungkin menutup diri atau acuh berpangku tangan dengan problem umatnya sendiri. Maka seorang muslim adalah orang yang bahagia, karena di dalam kiprahnya ia mengupayakan untuk menegakkan Sunnah Rasulullah.

Akan tetapi; manakah tantangan yang lebih berat bila dibandingkan dengan para pelopor awal (assabquunal-awalun) ? Manakah yang paling menderita bila dibandingkan dengan para pengikut Rasul yang diboikot, diisolasi, bahkan disiksa di luar batas kemanusiaan? Manakah yang paling pahit, bila dibandingkan dengan dakwahnya pengikut Rasul yang compang-camping karena terusir dari kampung halamannya? Lantas, alasan apalagi bagi seorang muslim untuk menutup mata dan hidup dengan gaya penuh egoisme, seraya tidak peduli akan amanat dakwah? Lantas, hati dan iman yang mana lagi yang akan engkau pakai apabila persaudaraan sudah engkau putuskan?

Maka, ketahuilah wahai saudaraku para ikhwan, salah satu ciri khas kepribadian muslim adalah kentalnya rasa persaudaraan diantara sesama penegak syahadat. Yaitu, persaudaraan yang telah merobek segala fanatisme berlebihan (hisab ta'asub), nasionalisme yang ber­lebihan (chauvinisme ashabiyah), serta kebanggaan kelompok. Per­saudaraan adalah rohnya Islam. Tanpa persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar, sehingga kaum Anshar rela membagi hartanya, rela mem­bagi kebahagiaannya tanpa meminta imbalan, hanya semata-mata roh tauhid yang mencengkeram dadanya.

A. Perbedaan Metode Dakwah

Seringkali kita tercengang oleh lahirnya berbagai harakah dakwah. Dan, tidak jarang rasa heran ini kemudian melembaga dalam sanubari kita menjadi satu rasa khawatir yang berlebih-lebihan, seakan-akan lahirnya gerakan-gerakan dakwah menunjukkan terjadinya pengelom­pokan (firqah) dalam tatanan perjuangan yang menjunjung Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin). Di hampir pelosok dunia, di mana ada kehidupan kaum muslimin, pastilah akan selalu tumbuh lembaga atau organisasi dakwah. Hal ini dikarenakan perintah Allah:

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran:104).

Lafal ummatun pada ayat tersebut menunjukkan jumlah yang banyak. Karena itu pula memberikan peluang kepada berbagai harakah dakwah yang beragam metodenya. Lagi pula kalau diperhatikan secara saksama, sighat jamak yang dipakai pada kata ummatun tersebut me­nunjukkan adanya kebolehan untuk terbentuknya berbagai organisasi atau harakah dakwah di dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, lahirnya berbagai harakah dakwah janganlah ditafsirkan sebagai indikasi adanya perpecahan di dalam umat Islam. Akan tetapi, dengan kaca mata berpikir positif (husnuzhan), kita harus memperkaya khasanah dakwah Islamiyah. Selama harakah dakwah itu mempunyai cita-cita untuk menjayakan umat, memperbaiki akhlak dan tetap dalam satu struktur keislaman secara menyeluruh. Justru, inilah yang bisa kita tangkap pengertiannya sebagai suatu rahmat dalam pengertian pemerkayaan berpikir dalam tubuh umat Islam secara mondial (mendunia).

Orang yang menghakimi atau mengambil suatu kesimpulan bahwa dengan beragamnya gerakan dakwah tersebut adalah lahirnya firqah-­firqah. Saya kira dikarenakan mereka dibayangi oleh obsesi persatuan umat manusia yang berlebih-lebihan, seakan-akan ingin umat manusia atau umat Islam pada khususnya bersatu dalam satu wadah harakah, bersatu dalam satu ummatan wahidah. Sebaliknya, harus kita pahami secara lebih bijaksana bahwa fenomena antropologis, sosiologis, dan kultural masyarakat yang beragam, membawa konsekuensi metode dakwah yang beragam pula. Bukankah Rasulullah sendiri telah bersabda, "Sampaikanlah dakwah ini sesuai dengan kadar akal mereka." (al­-Hadits).

Hadits tersebut memperkuat satu pemikiran bahwa umat manusia ini beragam dan kerangka serta kadar akalnya berbeda satu sama lain. Konsekuensinya akan melahirkan harakah dakwah yang beragam pula.

Dengan demikian, munculnya berbagai harakah dakwah dengan memakai nama yang beragam pula, tidak serta-merta ditafsirkan sebagai firqah atau perpecahan dalam tubuh umat Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-­orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah men­ciptakan mereka..." (Hud: 118-119).

"Dan jika Tuhanmu menghendaki; tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka beriman semuanya?" (Yunus: 99).

Dengan firman tersebut, sadarlah bahwa tidak pernah kita akan menemukan satu masyarakat yang benar-benar mutlak bersatu secara "tatanan besar", tanpa di dalamnya ada perbedaan perbedaan. Kita harus menyadari bentang sejarah perkembangan dakwah Islamiyah bahwa sejak zaman Nabi sampai pada para sahabat Khulafa ar-Rasyidin, perbedaan itu selalu kita temukan dalam kuantitas dan kualitasnya sendiri-sendiri yang unik menurut zamannya. Moto "berbeda-beda namun tetap satu" (unity in diversity, e. pluribus unum, bhineka tunggal ika) seharusnya menjadi aspirasi bagi jamaah muslimin. Walaupun kita memiliki perbedaan-perbedaan kerangka metode atau fikih, tetapi seharusnya kita tetap bersatu dalam satu tatanan besar, yaitu akidah Islamiyah.

Dengan cara berpikir ini, kewajiban para anggota jamaah itu harus selalu berupaya untuk memperlebar jaringan silaturahmi, dan memperkuat tali persaudaraan diantara anggota harakah dakwah. Membuang fanatisme buta atau rasa kebanggaan (ashabiyah) yang bertentangan dengan semangat persaudaraan dan mengikis habis kilasan perasaan, seakan-akan kelompoknyalah yang terbaik atau organisasinyalah yang paling benar. Sikap sempit seperti ini, justru akan membuat tali per­saudaraan diantara sesama pejuang dakwah bertambah jauh. Sehingga, mereka akan bekerja secara sporadis parsial (setengah-setengah). Total harus dijadikan satu kerangka berpikir seluruh harakah yang mengabdikan dirinya dalam lapangan perjuangan dakwah. Mereka menghindari berbantahan dalam hal metode, atau perbedaan taktis, karena hal tersebut akan memperlemah kekuatan atau potensi umat. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

"... janganlah kamu berbantah-bantahan selisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu...." (al-Anfal: 46)

Salah satu kelemahan kita saat ini, justru kita sering berbantahan dalam hal-hal yang berkaitan dengan khilafiah atau kerangka penafsiran syariat. Kemudian perbedaan ini merembes ke dalam hati sanubari umat dalam bentuk pemasangan "barikade" untuk mengulurkan tali ukhuwah. Bentuk inilah yang diisyaratkan oleh Allah sebagai suatu sikap yang akan memperlemah kekuatan umat Islam di hadapan musuh-musuhnya. Kebanggaan kultural atau kebangsaan seringkali membuahkan pula silang sengketa, karena rasa nasionalisme, etnik lebih dominan di­bandingkan dengan rasa keislamannya. Maka setiap anggota jamaah yang berhimpun dalam harakah dakwah, apa pun nama gerakannya, harus mempunyai sikap toleran yang sangat tinggi terhadap sesama saudaranya yang lain. Toh, mereka masih melaksanakan shalat, masih menghadap ke kiblat, dan masih melafalkan dua kalimat syahadat

Pokoknya, siapa pun yang telah bersyahadat, dia adalah saudara kita. Kalau ada diantara Anda membantah, "Ya, dia mengaku Islam, tetapi perilakunya justru bertentangan dengan Islam." Maka untuk Anda yang mempunyai pendapat kecintaan yang besar pada Islam --tentang ini, kami mengimbau bahwa tugas Andalah untuk mengislamkan teman Anda yang telah bersyahadat itu. Kita tidak bisa mengafirkan atau menghakimi saudara kita yang telah bersyahadat, sebagai kafir atau munafik, kecuali dengan sangat nyata mereka telah ingkar dari keislamannya. Kita harus memahami dan menyatakan syukur kepada Ilahi Rabbi bahwa ada saudara kita yang telah bersyahadat. Karena hal itu merupakan suatu aset Ilahiah yang harus kita kelola bersama. Kalau kita berlaku kasar, niscaya mereka akan lari dari tatanan Islam, dan akhirnya menambah persoalan yang baru.

Cobalah kita tafakur dengan sangat mendalam, apakah mungkin kita harus terkotak- kotak dan berpisah? Padahal Nabi kita sama, Kitab Suci kita sama, Kiblat kita pun sama, bahkan Tuhan serta syahadat kita merupakan dasar kesamaan yang paling hakiki. Berbagai perbedaan metode dakwah ataupun perbedaan paham dalam kaitan ibadah yang bersifat furu'iyah, tidak harus memisahkan persaudaraan diantara kita, apalagi saling mengafirkan satu dengan lainnya, merasa diri yang paling sunnah atau yang paling surga.

Ketahuilah bahwa perbedaan paham dalam bidang ibadah pun telah terjadi selama masa Rasulullah saw masih hidup. Diceritakan oleh Abu Sa'id al-Khudri bahwa ada dua orang sedang dalam perjalanan. Dan, ketika waktu shalat telah tiba, tetapi mereka tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayamum untuk melaksanakan shalat. Ketika
mereka tiba di suatu tempat yang ada airnya dan waktu shalat masih ada, maka timbullah perbedaan. Orang yang pertama berwudhu, kemudian mengulangi shalatnya, sedangkan yang kedua tidak. Setelah kejadian itu, mereka melapor kepada Rasulullah, dan beliau bersabda kepada yang tidak mengulangi shalatnya, "Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah dan shalatmu sudah cukup bagimu." Dan kepada yang meng­ulangi shalat (orang yang pertama) , beliau bersabda, "Bagimu pahala dua kali." (al-Hadits)

Masih banyak lagi bidang yang mengundang perbedaan dalam hal ibadah, berkaitan dengan tafsir, redaksional hadits, dan riwayatnya. Tentu saja, perbedaan pemahaman yang berkaitan erat dengan daya nalar seseorang yang seringkali dipengaruhi oleh kerangka berpikir dan kerangka pengalaman masing-masing. Untuk menghindari fanatisme kelompok yang bisa mengarah kepada kejumudan dan semangat ashabiyah, hendaknya para anggota jamaah melakukan tindakan yang aktual sebagai berikut:

1. Selalu berupaya untuk menjalin tali silaturahmi dengan berbagai kelompok dakwah tersebut. Masuklah ke dalam harakah mereka, simaklah dengan baik berbagai metode yang diperkenalkannya. Dengan cara seperti ini, kita tidak akan terjebak dalam fanatisme buta karena mampu mengambil hal-hal yang sama (convergen) dari seluruh kelompok.

2. Tawarkan satu program bersama yang dapat dilaksanakan secara gotong-royong oleh berbagai harakah dakwah tersebut, sehingga tanpa disadari akan terjadi kristalisasi, dan mungkin pemikiran-­pemikiran yang cemerlang akibat adanya intensitas interaksi diantara organisasi atau kelompok dakwah tersebut

3. Upayakan agar terwujudnya pertemuan-pertemuan rutin diantara sesama kelompok harakah dakwah tersebut untuk membicarakan berbagai program lapangan yang bisa dilaksanakan secara gotong-royong, jauhkanlah satu perdebatan atau pembicaraan yang mengarah pada hal yang berkaitan dengan khilafiah.

Dengan kerangka berpikir seperti ini, maka sangat dianjurkan agar para anggota jamaah itu mau belajar dan mencari mutiara hikmah di berbagai kelompok harakah dakwah, yang kemudian secara gradual akan membentuk satu kepribadian yang lapang dada. Orientasi kita dalam makna total dakwah ini menjadi daya penggerak (dinamisator)
terhadap berbagai program dakwah yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak dalam tubuh umat Islam. Kita jadikan setiap posisi dan peran sebagai alat untuk menjadi pelabuhan untuk menyeru umat kepada nilai-nilai persaudaraan yang hakiki melampaui batas-batas keyakinan yang berkaitan dengan khilafiah. Dengan demikian, sikap berpikir positif, serta berprasangka baik (khusnuzhan) terhadap sesama kelompok dakwah harus menjadi ciri dan cara pribadi muslim bermasyarakat.

Sebagaimana Allah memerintahkan kita semua agar menghindari sikap buruk sangka (suuzhan), penuh berpikiran negatif (negative thinking), dalam firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain...." (al-Hujurat: 12)

Berpikiran sempit, apalagi ada prasangka, serta kecemburuan berdasarkan nafsu atas amal dan harakah sesama jamaah dakwah adalah penyakit yang harus "diamputasi". Demikian pula, sikap memperolok-olokan satu dengan lainnya, baik laki-laki maupun perempuan adalah sebuah perintah Allah yang harus dihindarkan dari batin kalbu setiap pribadi muslim --seperti termaktub pada surat al-Hujurat:11. Maka anggaplah lahirnya berbagai gerakan dakwah adalah bagaikan kolam-kolam kecil yang bening. Dan, kewajiban setiap anggota jamaah adalah mengalirkan airnya agar dapat berpadu dalam satu samudra amaliah dapat menimbulkan satu gerakan dinamika prestasi umat yang dahsyat.

Gambar 12

Berdasarkan gambar 12, tampak bahwa kewajiban kita adalah menyambung tali persaudaraan dengan seluruh.harakah dakwah. Sehingga, seluruh semangat yang terpendam di dalam halaqah ­pertemuan dakwah --yang ada dapat teralirkan kepada satu visi dan misi yang sama, yaitu menuju kepada satu persatuan umat (ittihadul-ummah). Semangat ini harus ada di setiap relung kalbu anggota jamaah yang mempunyai tujuan yang sama serta sumber acuan yang sama, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pada kelanjutannya, total dakwah menjadi satu ke­rangka acuan seluruh anggota jamaah, dimana seluruh gerakan ke­hidupannya selalu menuju pada pembebasan umat manusia dari penjara kekufuran yang menyesatkan. Sikap lapang dada (al-hanifiyyat al-­samhah) untuk menyambung tali silaturahmi, serta mengambil hikmah kebenaran dari sudut kehidupan dari sesama harakah dakwah Islamiyah merupakan budi luhur yang harus ditegakkan oleh setiap pribadi muslim yang merindukan tumbuh berkembangnya nilai persaudaraan yang konkret dan aktual tersebut.

Lalu muncul pertanyaan, dari mana itu kita mulai? Setiap gagasan dan ajaran Islam selalu merujuk pada tanggung jawab pribadi terlebih dahulu, yakni memulainya secara konsekuen dari diri sendiri (ibda binafsika). Maka semangat berjamaah dengan segala artibutnya harus diawali dari diri kita masing-masing. Dengan kesadaran bahwasanya Allah hanya akan melimpahkan kekuatan dan pertolongan-Nya kepada setiap pribadi muslim, apabila kita berhimpun dalam tatanan jamaah. Terwujudnya jamaah Islamiyah hanya bisa direalisasikan apabila setiap anggota ingin dan sangat merindukan terbentuknya pembinaan pribadi yang kokoh dan selalu menjadikan agamanya sebagai tempat dia bertolak dan berlabuh.

Jamaah harus mampu memberikan efek yang mendalam terhadap pembinaan pribadi pada setiap anggotanya. Hal itu merupakan salah satu dasar fundamental dari lahirnya pribadi yang istiqamah, yaitu pribadi muslim yang terbina (binaa'al fardul-muslim). Setiap anggota jamaah harus selalu menjalankan peranannya, sebagaimana akhlaknya para pengikut Nabi pada awal lahirnya Islam ini, yaitu para pelopor awal  (assabiqunal-awaalun). Kerinduan untuk mati syahid sama besarnya dengan rasa cinta pada kehidupan yang saleh. Hidup bersih, akal cerdas, dan beramal prestatif merupakan rangkaian akhlak yang menjalin kehidupan dalam semangat jihad untuk menundukkan dunia, mengubah kegelapan dengan cahaya iman. Dengan segala daya dan upayanya, walaupun terasa sangat berat, dia akan terus berjalan mendakwahkan Islam melalui keteladanan akhlak yang dia banggakan karena terlahir dari kecintaan yang mendalam kepada Ilahi Rabbi. Dalam tatanan pergaulan yang serba syubhat (tidak jelas) dan penuh dengan kehidupan yang materialistis ini, tidak perlu larut dalam budaya tersebut. Bahkan, dia tetap berdiri tegak dengan penuh simpati bagaikan mercu suar yang menjadi pemandu kapal yang mendermaga.

Dilatih dirinya bagaikan setiap saat ia akan menghadapi pertempuran yang amat dasyat. Tidak ada waktu terbuang sedikit pun yang akan membuat dirinya terlena dari visi dan misi pribadinya sebagai kalifah di bumi (khalifah' fil-ardhi) yang sangat gandrung untuk menebarkan amal saleh.

Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah saw,

"Hendaklah engkau bekerja untuk duniamu, seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-­akan engkau akan mati besok." (al-Hadits).

Sabda Rasulullah tersebut menggedor jiwa muslim untuk berontak pada segala kebatilan, menjebol segala penyakit wahan, dan kemalasan. Setiap saat dirinya selalu berfikir, apa yang harus ia berikan untuk orang lain? Apakah hidupnya sudah punya arti? Bekal apakah yang telah ia persiapkan untuk menempuh perjalanan yang amat panjang di akhirat nanti?

Sabda Rasulullah itu juga membuat dirinya gelisah. Dia mempunyai misi untuk menjadikan hidupnya sebagai ladang yang harus ditanami oleh tiap benih. Lalu, dia tebarkan benih tersebut,dan disiraminya dengan akhlak karimah agar membuahkan ridha Allah semata. Dia memandang hidup dan kehidupan sebagai satu amanat dan tugas yang amat berat. Tidak mungkin dia laksanakan amanat itu dengan bersantai-santai apalagi sampai terlupa dari dzikrullah.

Betapa hidup harus penuh dengan kesungguhan (jihad), sebab dia yakin bahwa akhirnya segala sesuatu yang bernyawa akan berakhir dalam kemusnahan. Betapa segala sesuatu yang dia alami akan punah, sedangkan hanya karunia Allah jugalah yang abadi.

Sebab itu, setiap anggota jamaah tidak pernah akan melupakan sebuah peristiwa yang disampaikan oleh sahabat Anas ra. yang mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw berkhotbah yang sangat luar biasa, sehingga di mana saya belum pernah melihat Rasulullah berkhotbah semacam itu sebelumnya. Di antara isi khotbahnya itu, beliau bersabda, "Andaikan kamu mengetahui apa yang saya ketahui, niscaya kamu sekalian akan lebih banyak menangis dan akan sedikit sekali tertawa." Maka setelah ucapan itu, saya melihat para sahabat Nabi yang mendengarkan khotbah tersebut, semuanya menutup muka mereka dan terdengarlah suara tangis yang terisak isak dari mereka. (HR Bukhari dan Muslim).

Bergetarlah jiwa setiap anggota jamaah menyimak sabda Rasul tersebut. Itulah peringatan yang amat dahsyat tentang datangnya hari akhirat yang merenggut semua kenikmatan yang fana, serta memporak-porandakan segala impian kenikmatan khayalan dengan segala syahwatnya. Bertambahlah sikap tawadhunya para anggota jamaah itu; apabila mereka menyimak sabda Rasulullah saw:

"Tiada seorang pun dari kamu sekalian, kecuali akan berhadapan dan ditanya Allah di hari pengadilan kelak. Tidak ada juru bahasa yang akan membelanya, kecuali apabila ia melihat ke kanannya, dia hanya akan menyaksikan amal perbuatannya dan apabila dia pun menoleh ke kirinya, dia pun akan menyaksikan amal perbuatannya. Di hadapan mereka tiada terlihat sesuatu apa pun kecuali api yang menyala. Maka jagalah dirimu dari api neraka walau dengan memberikan sedekah separo biji kurma sekalipun." (HR Bukhari dan Muslim).

Rasa harap cemas menghadapi hari akhir merupakan salah satu keyakinan yang tidak pernah pupus walau sedetik pun dari ingatan dirinya. Perasaan yang kemudian melahirkan kewaspadaan dan hidup yang selalu ingin terpelihara dan dipelihara oleh amalan yang luhur dan terpuji. Setiap anggota jamaah adalah tipikal manusia yang melihat umur sebagai amanat Allah yang tidak syak lagi harus dia pelihara dengan penuh tanggung jawab. Dia sadar betul, betapa kematian merupakan takdir yang tidak tercelakan. Bahkan, apalah arti semua kehidupan ini bila dibandingkan dan ditafakuri dengan iman?

Ketahuilah bahwa hidup ini tidak lebih dari pada sekadar pengembaraan sementara untuk menyongsong kematian yang pasti. Hidup ini tidak lain daripada menanti mati. Oleh karena itu dalam kurun waktu penantiannya, dia hiasi seluruh penantiannya dengan karya, karsa, dan cipta yang bernuansa dan semerbak ridha llahi. Hal ini sebagaimana Allah berfirman:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran." (al-'Ashr:1-3).

Sebuah kerugian yang tidak bisa ditebus, manakala nyawa sudah di tenggorokan. Sebuah jeritan penyesalan yang sia-sia, takala sang malaikat maut pemusnah kenikmatan merenggut nyawa.

Kesadaran dan penghayatannya ini telah menyulut kesadaran dirinya untuk mengolah segala "aset" llahi yang telah dia terima untuk beramal saleh, lalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk sesuatu jemputan yang pasti, kematian! Dia matikan segala nafsu rendah, dan dia hidupkan segala nafsu mutmainah. Dia padamkan segala kobaran kebatilan. Pada saat yang bersamaan, dia nyalakan pelita iman yang akan menerangi jalan kehidupannya yang panjang dengan tetap berucap, bersikap, dan berbuat atas satu garis yang pasti, "Laa Ilaha Illallah." Sebuah jalan yang senantiasa, setiap muslim meminta kepada Allah agar tidak menyimpang darinya (ihdinas sirathal mustaqim).

Pokoknya, dalam hal ibadah dan amalan saleh lainnya, dia tidak pernah sedikit pun mengendorkan semangat untuk segera mengisi hidupnya dengan prestasi. Hanya dengan niat yang tulus, iman yang penuh dan dipancarkan melalui gerak amal prestasi, barulah dia merasakan betapa hidup ini mempunyai arti.

Dia sadar bahwa Islam bukanlah hanya sekadar kata, tetapi harus punya makna. Bukan seperangkat keyakinan yang tersembunyi di semak belukar, tetapi dia harus menjadi pelita yang berbinar. Bukan pula hanya berhenti pada simbol-simbol kebendaan, tetapi harus memberikan substansi dan esensi keluhuran budi. Inilah kualitas setiap anggota jamaah muslimin yang ingin menekuni dan mengikatkan diri dalam sirah perjalanan kehidupan suci Rasulullah saw (minhajun-nabawiyah). Akhlakul karimah para Nabi, para sahabat, dan para wali Allah merupakan pantulan dari tapak sejarah yang menerpa seluruh relung dadanya. Di manapun dia berada, para anggota jamaah muslimin ini akan selalu memberikan bekas kesalehannya Tidak ada keraguan dalam batinnya akan limpahan karunia Allah. Karena dia yakin bahwa. siapa pun yang berjuang dalam jalan Allah, pastilah Allah akan memberikan jalan, sebagaimana firman Nya:

"Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan." (al-Qashash: 69).



B. Total Dakwah

Islam sering diartikan menurut lughat (bahasa) sebagai penyerahan diri, yaitu penyerahan diri hanya kepada Allah. Seorang muslim adalah manusia yang telah pasrah, ikhlas untuk berpihak hanya kepada Allah dan Rasulullah. Pada saat dia bersyahadat, ada semacam getaran ke­sadaran bahwa dirinya secara otomatis menjadi anggota partai Allah (hizbullah), kelompok yang hanya berpihak kepada ketentuan hukum Allah semata-mata, sebagaimana firman Allah:

"Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (al-Maa'idah: 56).

Hidup seorang muslim sangat jelas dan pasti dalam pandangan batinnya dan mengatakan bahwa hidup ini hanya ada dua pemihakan. Seorang muslim juga tidak mungkin duduk diantara keduanya --jelas lebih berpihak pada partai Allah. Pada saat dia berpihak kepada Allah sebagai anggota partai Allah, pada saat yang sama pula, dia akan me­nafikan, menolak, dan merobek seruan "partai setan" yang merayunya untuk memihak kepada kesesatan. Dia tolak seruan setan yang akan melalaikan dirinya dari dzikrullah, karena apabila sedikit saja ia lalai dan berpihak pada partai setan, maka setan pun akan menggiringnya kepada kehidupan palsu yang penuh dengan tipuan, sebagaimana firman Nya:

"Setan telah meguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itulah golongan setan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang paling merugi." (al-Mujaadalah:19).

Maka lihatlah pertarungan antara yang hak dan batil tersebut tidak pernah akan berhenti. Bahkan, sejak engkau terbangun di pagi hari karena gugahan suara merdu azan yang menerpa cakrawala, engkau terbangun, dan kemudian segera harus memutuskan, memilih dan berpihak. Apabila engkau berdiri, mengambil wudhu, kemudian be­rangkat ke masjid untuk shalat subuh berjamaah, maka pada saat itu engkau telah berpihak kepada Allah. Apabila sebaliknya, maka engkau pun dengan suka cita berpihak kepada setan. Memang hidup ini tidak lain adalah rangkaian dari sebuah proses untuk mengambil keputusan dan memilih: apakah berpihak kepada Allah atau setan.

Pertarungan antara hak dan batil tidak pernah akan berhenti, dan sebagai konsekuensinya setiap pribadi muslim merasa terpanggil untuk melakukan gerakan dakwah. Menyeru dan meluruskan pandangan mata batinnya agar tetap menuju, berada, dan tetap bersama dengan ketentuan Allah. Dia sadar bahwa membiarkan penyimpangan iman, perilaku, dan sikap yang keluar dari alur sirathal-mustaqim, akan membawa konse­kuensi yang berat. Penyimpangan bisa jadi hanya sedikit saja menurut perasaannya. Akan tetapi, lihatlah risikonya yang kian bertambah lebar dan bertambah jauh dari jalan kebenaran, sehingga untuk mengembali­kannya dibutuhkan usaha ekstra yang sangat besar pula.

Gambar 13

Lihatlah gambar di atas. Penyimpangan yang sedikit, tetapi karena terus dibiarkan maka dalam kurun waktu tertentu perilaku seseorang yang menyimpang itu sudah sangat jauh. Bahkan, mereka merasa asing dengan jalannya sendiri karena sudah terlalu asyik dengan jalan setan.

Maka upaya dakwah yang kontinu dan inovatif merupakan suatu kewajiban, bahkan keterpanggilan setiap muslim untuk melakukannya karena amanat dan rasa tanggungjawab yang sangat besar atas keselamatan diri dan umat manusia. Setiap pribadi muslim, para ikhwan yang hatinya sudah terpaut dalam gelombang dakwah harus pula memiliki wawasan keilmuan yang luas. Bahasa apa yang paling indah, kecuali kalimat yang keluar dari sanubari manusia untuk menyeru ke jalan Allah, seperti yang termaktub pada surat Fushshilat:33; "...Sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri?" Di mana pun mereka berada maka mereka akan tampil sebagai pelita yang memberikan cahaya berbinar (sirajam muniran). Memberikan bekas dan mewarnai lingkungannya dengan "cahaya marhamah".

Kita tidak mengenal sistem "pastoral"; di mana penggembalaan umat diserahkan pada satu orang. Di dalam agama kita, seluruh individu yang mengaku dirinya beragama Islam otomatis harus menjadi juru dakwah yang menyeru umat manusia ke jalan-Nya seperti disebutkan dalam surat Yusuf: 108, dan membebaskan umat manusia dari perbudakan hawa nafsu, membebaskan umat manusia dari segala mitos dan ketidak-berdayaan (powerless) menghadapi hasil olah dan ulah budayanya sendiri.

Maka camkanlah dengan penuh rasa tanggung jawab bahwa salah satu misi yang harus tertanam kuat dalam urat dan darah setiap ikhwan adalah rasa tanggung jawabnya yang besar untuk mewarnai lingkungan­nya dengan uswah 'keteladanan' dan kecerdasan yang cemerlang, seperti berikut:

1. Hidupnya merasa tidak berarti apabila hari-hari berlalu tanpa mem­berikan arti dari lingkungannya dan bagi lingkungannya. Dengan perasaan seperti inilah, para anggota itu melancarkan gerakan silaturahmi. Menyebarkan serta mengikat tali hubungan dengan siapa pun seraya tersisip di dalamnya sebuah misi, yaitu untuk memberikan bekas pengaruh yang mendalam kepada lingkungan­nya dengan hikmah dan simpatik.

2. Jabatannya, keahliannya, hartanya, ilmunya, dan apa saja yang men­jadi amanat pada dirinya dijadikan sebagai aset atau media untuk mewarnai lingkungannya dengan cahaya islami. Ikhwan atau akhwat yang bekerja sebagai guru atau dosen akan memulai pelajarannya dengan membaca, "Bismillah", atau mengajak para hadirin dengan membaca surat al-Fatihah. Demikian juga karena dia memiliki kekuatan, maka seorang direktur utama akan memimpin rapatnya dengan melakukan hal yang sama. Seorang dokter akan menyuntik atau memeriksa tubuh pasiennya dengan mengucapkan, "Bismillahirrahmanirrahim," sehingga bukan saja rasa sejuk yang didapatkannya, bahkan kepercayaan akan tumbuh pada diri pasien tersebut.

Pokoknya setiap muslim yang sadar akan visi dan misi eksistensi dirinya, pastilah akan merasa terpanggil untuk mewarnai lingkungannya, di mana pun dan dalam situasi apa pun. Sehingga, kehadiran dirinya dengan cepat akan memberikan arti dan kehadiran dirinya di lingkungannya itu menjadi dambaan tali pengikat persaudaraan. Persaudaraan sebagai roh perjuangan jamaah ikhwan ini lebih dominan dari kepentmgan dirinya sendiri. Dia rela mengorbankan kepentingan pribadinya asalkan tumbuh persaudaraan dan kemuliaan untuk sesama anggota jamaahnya.

Semangat berkobar seperti inilah yang merupakan lem perekat dan sekaligus ciri khas dari para anggota jamaah. Wajahnya cerah, tersungging (tampak) sebuah senyuman tanpa ada keluhan sedikit pun. Haru biru umat Islam di muka bumi ini, karena hilangnya makna aktual dari ikatan persaudaraan sebagai ciri dan cara umat Islam hidup. Porak-porandanya kekuatan Islam di muka bumi ini, dikarenakan kita semua tidak lagi mampu mengaplikasikan secara aktual, pesan singkat dari Allah yang berfirman, "Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara...." (al-Hujurat: 10).

Ayat tersebut pada saat sekarang sudah menjadi sangat klise dan sekadar pemanis bahan pidato, bahkan bumbu penyedap retorika. Hebat dalam pernyataan, tetapi hampa dalam kenyataan. Maka dakwah yang paling meminta perhatian kita semua sebagai warga muslim dunia tidak lain adalah mengalirkan kembali roh ukhuwah, menjalin tali persaudaraan dalam arti yang wujud. Apa pun jenis organisasi dakwah, bagaimanapun bentuk gerakan dakwah, apabila nilai kandungan persaudaraan tidak dijadikan tema bersama, maka hanya obsesi kosong jualah yang bakal menimpa. Bukankah Al-Qur'an dengan sangat tegas memberikan satu sinyal bahwa orang-orang kafir itu pun saling bersekongkol, yang satu dengan lainnya saling membantu untuk menghancurkan gerakan dakwah Islam.

Demi menghancurkan nilai-nilai Islam, kadang-kadang mereka tidak segan bersekutu dengan setan sekalipun, asalkan cahaya Islam tidak menerangi rumah-rumah mereka. Maka alasan apa bagi kita semua yang terlahir ingin menjadi anggota partai Allah (hizbullah) menelantarkan nilai persaudaraan? Inilah kunci surga yang telah lama kita buang. Karena kesombongan dengan fanatisme sempit yang bagaikan api membara telah melumatkan tatanan perjuangan Islam secara menye­luruh.

Bagi seorang muslim yang memahami makna keberpihakan kepada Allah, niscaya dia merasa malu untuk ikut bergabung dengan kelompok-kelompok yang nilai serta roh perjuangannya tidak mengalir dari cucuran kebenaran Al-Qur'an dan Sunnah. Ketahuilah bahwa pola dan sikap manusia sangat ditentukan oleh milieu atau lingkungan mereka bergaul. Dalam tatanan pergaulan kelompok, apabila kita bergabung dalam tatanan kelompok yang tidak Qur'ani dan tidak membawakan roh dakwah, kita khawatir akan menjadi manusia yang lembek. Karena perilaku diri kita telah diwarnai oleh etika dan nilai, yang dengan sangat nyata bertentangan dengan roh dakwah itu sendiri.

Maka dalam posisi dan situasi apa pun, misi dakwah adalah citra dominan dari kepribadian setiap muslim. Bagaikan pelita yang memberi­kan cahaya benderang bagi mereka yang kegelapan, melimpahkan percikan kedamaian bagi mereka yang gelisah, keteduhan dan keten­teraman batin (mutma'inah) bagi para musafir pengembara dunia.

C. Tuduhan Eksklusif

Seringkali kita mendengar adanya tuduhan kepada para jamaah Qur'ani sebagai eksklusif, dikarenakan para jamaah ini telah membuat garis tegas antara yang hak dan yang batil. Mereka tidak mungkin mengenal kompromi untuk membuat "benang putih" dicelup dengan budaya jahiliah yang hitam, sehingga kemurnian ajarannya menyimpang dari jalannya yang lurus. Karena penyimpangan atau mencoba mencari panduan lain yang tidak Qur'ani, hanyalah cara baru untuk mengampak umat agar terpecah belah dan lemah.

Memvonis anggota jamaah sebagai eksklusif, sebenarnya sangat bergantung kepada bagaimana "cara pandang" mereka terhadap penye­butan eksklusif tersebut. Ukuran dan norma mereka yang menuding sebagai eksklusif itu sudah tentu bukanlah ukuran berdasarkan iman dan keikhlasan Al-Qur'an. Hal ini sangat disadari oleh para pengikut Rasul bahwa ejekan dan tudingan kaum fasik itu tidak menjadikan dirinya goncang dan rnengubah dirinya menjadi manusia yang berambiguitas (menjadi tidak jelas arahnya). Karena bagi dirinya bahwa suara mayoritas tidaklah berarti secara otomatis harus mencerminkan kebenaran. Bahkan sebaliknya, apabila hanya memperturutkan suara mayoritas padahal bertentangan dengan hati nuraninya, apalagi menyimpang dari standar A1-Qur'an dan Sunnah, maka mereka merasa bahwa hidupnya sama sekali tidak punya nilai di hadapan Ilahi Rabbi. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah pendusta (terhadap Allah)." (al-An'am: 116).

Apabila para jahiliah berteriak dengan semboyan, "vox populi vox Dei", (suara rakyat, suara Tuhan), maka kaum mukminin akan berkata, "Al Haqqu min Rabbika, wala takunna minahnumtarin," (Kebenaran itu dari Tuhanmu, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu)  (al-Baqarah:147).

Mereka tidak bersedih hati untuk terisolasi dari mayoritas, karena kebahagiaan sejati bukan terletak dari pengakuan manusia, melainkan pengakuan dan harapan ridha dari Allah semata-mata.

Para pelopor awal (assabiqunal-awalun) tidak pernah merasa kecil walaupun jumlahnya sedikit. Dia tidak pernah merasa rendah diri, kendati dianggap hina oleh orang-orang awan, karena di dadanya sudah terhunjam dan terpatri keyakinan bahwasanya hanya Allah Yang Maha besar, selain Allah semuanya kecil. Dengan para anggota jamaah mukminin itu adalah "sajak-sajak" kecintaan akan kasih Allah semata-mata yang diwariskan kepada para mujahid muda, generasi penerus yang gagah dan istiqamah. Sebagaimana bait berikut:

Wahai mujahid muda
Mengapa engkau harus gelisah
Kalau di dada bersemayam iman
Untuk apa keluh kesah itu
Sedang Sang Kekasih selalu
setia memberikan lentera kehidupan

Kalau toh dunia ingin merenggut
mencabik mencampakkan engkau
katakan padanya
Engkau boleh hancurkan tubuhku
tetapi tidak pernah imanku
Sia-sia engkau poles dirimu
dengan segala hiasan palsu
penuh tipu dan kepalsuan

Karena cintaku sudah tergadai
kepada Dia Yang Maha Pengasih

Wahai mujahid muda
Peluklah bumi dengan cinta
Gubahlah dunia dengan prestasi
Sekali hidup penuh arti
dan bolehlah bersiap untuk mati
Kalau datang hari perjumpaan
maka basahkan bibirmu
dengan kalimat thayibah
Laa ilaha illallaah

Seakan-akan inilah dendang sajak-sajak yang ada di setiap kalbu para anggota jamaah Rasul itu, saat ini sudah mulai redup dan suaranya hampir tidak terdengar lagi. Alangkah berbeda dengan kehidupan jahiliah, di mana ikatan perkumpulannya sama sekali tidak dipandu oleh satu ajaran yang lurus, yaitu Al-Qur'an. Mereka berkumpul bukanlah karena kerinduan untuk beribadah, tetapi sekadar pencarian pemuasan batin dirinya.

Dalam bentuk atau skala yang lebih luas lagi, perkumpulan mereka kadang-kadang dibumbui dengan dorongan nafsu; ambisi, dan gengsi. Itulah sebabnya, ada orang yang merasa lebih bergaya apabila dia mampu menjadi anggota klub eksekutif ketimbang menjadi anggota satu harakah Islamiyah. Bagi para jahiliah yang dipelopori oleh Amr bin Hisyam seorang tokoh suku Bani Makhzum yang kemudian dikenal dengan julukan Abu Jahal --biangnya kejahilan-- bahwa popularitas, gengsi, dan kebanggaan kesukuan merupakan salah satu motivasi dirinya untuk tidak bergabung dengan jamaah Rasul, apalagi harus menerima kebenaran Al-Qur'an, walaupun dia sadar akan kebenaran yang terkandung di dalamya. Abu Jahal merasa bahwa ajaran Nabi Muhammad walaupun benar, tetapi akan menghambat kebebasan dirinya untuk mereguk nikmat dunia, bahkan bisa menggoncangkan tatanan kebudayaan, adat istiadat nenek moyang, serta gengsi keluarga Bani Makhzum.

Kejahilan seperti ini, sebenarnya akan terus berlangsung, tidak saja terjadi pada zaman jahiliah, tetapi sejak zaman Fir'aun yang serba duniawi, Kisra dan Imperium Roma, serta seterusnya. Sejarah selalu akan mencatat sebuah pertarungan moral antara kebenaran A1 Qur'an dengan kebatilan kaum jahiliah.

Kata-kata yang biasa kita dengar, misalnya enjoy your life, nikmati­lah hidupmu, carpe diem, reguklah nikmat dunia, coromemus nis tasis, cras enim moriemur, pakailah mahkota mawar karena hidup hanya satu kali) adalah kata-kata yang mengagungkan jahiliah-hedonis. Budaya hedonisme --yang diilhami oleh budaya epikurisme Roma--telah menjadi­kan manusia menjadi "hamba perut". Mereka menjatuhkan harga kemanusiaannya dengan memperturutkan hawa nafsunya semata-mata.

Bedanya mereka dengan binatang, hanyalah dalam kreativitas dirinya dalam memenuhi keinginannya. Kalau binatang adalah makhluk yang semata-mata dibekali nafsu dan insting sehingga bersifat pasif, maka kelompok jahiliah adalah makhluk cerdas yang mampu mengolah dan menjadikan akalnya sebagai senjata kreatif untuk memenuhi ke­butuhan nafsu semata-mata. Itulah sebabnya bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang lebih kejam dari binatang, apabila salah satu citra diri kemanusiaannya dia campakkan, yaitu berupa energi Illahiah yang paling luhur dan secara khas hanya dianugerahkan kepada manusia saja, yaitu akal dan perbuatan yang dipandu oleh cahaya iman.

Dengan sangat tajam, Al-Qur'an memberikan perumpamaan bagi para hedonis jahiliah ini sebagai orang yang mempunyai karakter seperti anjing, bahkan lebih sesat dari binatang apa pun, seperti dijelaskan pada surat al-A'raf: 179. Kelompok jamaah Rasul yang dadanya penuh berisi dengan kasih sayang itu tidak tega membiarkan sesamanya tersesat dalam jelaga hitam, menempuh jalan yang pendek, dan tergoda oleh fatamorgana. Para sahabat anggota jamaah Rasul ingin mengangkat derajat manusia sebagai khalifah fil-ardhi, yaitu menjadi subjek dunia. Bukan sebaliknya, dunia dijadikannya sebagai raja manusia. Dalam kurun waktu yang paling awal, kita bisa melihat betapa para anggota jamaah sangat tabah dan konsisten terhadap idealismenya yang berlumuran dengan cinta. Tidak ada rasa dendam ataupun sikap yang anarkis, bahkan mereka itu sangat besar perhatiannya terhadap pen­deritaan manusia.

Bagi para jamaah ini, penderitaan manusia tidak harus diidentikkan dengan kelaparan, kemiskinan belaka, tetapi ada lagi penderitaan yang sangat nista ialah kesesatan yang dialami kaum jahiliah. Lantas apakah dapat dikatakan sebagai eksklusif apabila ada sekelompok manusia yang sangat besar rasa kasihnya kepada manusia? Apakah bisa dikatakan sebagai pengganggu apabila ada jamaah yang sangat besar kerinduannya untuk memuliakan manusia? Lagi pula kalau yang dikatakan sebagai eksklusif itu hanyalah menurut takaran pengelompokan sesuai dengan hobi, lantas apakah yang mereka maksud? Kiranya bukan jamaah Rasul saja yang harus disebut sebagai eksklusif, namun kelompok lain pun yang berpadu karena adanya kesamaan atau hobi mereka, tentunya dapat dikatakan pula sebagai eksklusif.

Para anggota jamaah itu, justru adalah manusia bumi yang tidak pernah mau mengisolasi dirinya dari pergaulan dunia, apalah artinya dakwah apabila dia menghindar dari kehidupan, apa artinya rahmatan lil alamin, apabila dia tidak memberikan makna bagi lingkungannya. Bukan kemauan mereka mengisolasi diri, tetapi yang terjadi justru merekalah yang diisolasi dari pergaulan kehidupan yang ada. Sejarah telah mencatat betapa Bani Hasyim dan Bani Muthalib bersama sama dengan Rasulullah saw, para sahabat, dan keluarganya dikucilkan di kaki Gunung Syi'ib Bani Hasyim selama tiga tahun.

Mereka tidak boleh menerima kiriman makanan dari siapa pun, bahkan apabila ada pedagang yang akan mendatanginya, maka para jahiliah tersebut bergegas untuk memborong makanan tersebut, walau dengan harga yang mahal. Oleh karena perasaan benci yang membara mereka terhadap para jamaah tersebut. Penderitaan akibat isolasi ini, masya Allah sangat tidak terbayangkan oleh kita di zaman sekarang ini. Betapa mereka menderita kelaparan dan kehausan. Bahkan, diriwayatkan ada diantaranya yang harus makan sisa tulang dan sisa makanan mereka sendiri, begitu hebat rasa haus dan lapar mereka sehingga tidak sadar air seni yang tertampung di kulit binatang di masak kemudian diminumnya.

Dalam benak mereka tidak pernah sedikit pun terlintas untuk melakukan isolasi apalagi menjadi manusia yang eksklusif memisahkan diri dari pergaulan seraya membuat perbedaan kelas. Karena di samping itu bertentangan dengan Al-Qur'an, perbuatan seperti itu pun berten­tangan secara manusiawi, di mana fitrah manusia selalu merujuk kepada kebersamaan dan pergaulan sosial yang adil dan penuh kasih sayang.

D. Memilih Sahabat

Program utama dan pertama setiap pribadi muslim adalah mengikat tali persaudaraan. Program kedua adalah persaudaraan, program ketiga adalah persaudaraan, dan program selanjutnya tiada lain adalah segala bukti kemaslahatan atas semangat persaudaraan. Maka, arahkan mata batinmu dan seruan dakwahmu untuk mendapatkan saf para sahabat seikhwan dengan memantapkan beberapa ciri khas, yaitu sebagai berikut:

l. Wujudkan Keimanan Melalui Cinta

Rasulullah saw bersabda, "Tidaklah engkau beriman sehingga engkau mencintai sesama saudara­mu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri." (al-Hadits)

Abu Sulaiman ad-Darami rahimahullah berkata, "Jangan sekali-kali engkau bersahabat, melainkan salah satu dari dua macam orang ini. Pertama ialah orang yang dapat engkau ajak bersahabat dalam urusan duniamu dengan jujur, dan kedua ialah orang yang karena bersahabat dengannya engkau memperoleh kemanfaatan dirimu untuk urusan akhiratmu."

Sayidina Ali ra berkata, "Saudaramu yang sebenar-benarnya ialah orang yang mau menerjunkan dirinya sendiri dalam bahaya demi ke­selamatanmu dan mereka itu tidak segan-segan menegurmu apabila engkau bertindak salah."

Refleksi cinta bukan hanya dalam sikapnya untuk selalu membela diri sesama saudaranya, tetapi tampak pula dari tutur katanya yang lemah lembut. Caranya berbicara yang sangat waspada, takut apabila ada orang lain tersakiti hatinya karena lidahnya, walau dalam bercanda atau senda gurau sekalipun.

Lihatlah tanda-tanda persaudaraan itu yang diantaranya tampak ketika engkau memberi sesuatu, maka dia akan menerimanya dengan rasa haru. ketika engkau dalam kesulitan dialah orang pertama yang menawarkan diri untuk meringankan bebanmu. Ketika engkau kegelapan, dialah manusia yang paling merasa bersalah karena merasa tidak memberikan pelita.

2. Tausyiah dalam Hak dan Kesabaran

Sahabat seiman adalah dia yang selalu membayangi dirimu, men­jaga, dan memeliharamu dalam kebenaran. Membela dan menegurmu dengan kesabaran. Maka anggota ikhwan adalah tipe manusia yang selalu merasa bahagia apabila dirinya mempunyai arti bagi sesama saudaranya seiman. Sahabat seiman dalam satu saf, satu misi dan visi, lebih berarti dan lebih berpotensi ketimbang ratusan manusia yang berkumpul tanpa ikatan hati.

3. Saling Menjaga Amanat

Hancurnya sesuatu karena pengkhianatan. Menyadari hal ini, maka salah satu ciri kepribadian ikhwan adalah kuatnya menjaga amanat dan menjaga rahasia sesama saudaranya. Di hadapan orang luar, mereka saling membela dan saling menutupi, tetapi ke dalam mereka saling memberikan nasihat yang indah dan menyejukkan. Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang menutupi aurat (kejelekan) saudaranya, maka dia akan dilindungi Allah SWT." (al-Hadits).

Maka menjaga kehormatan saudaranya karena iman, lebih patut dibela ketimbang mempertahankan benda apa pun di muka bumi ini. Mulutnya sangat terjaga dan tidak gampang membuka rahasia kepada pihak lain, walau karena alasan kasih sayang sekalipun, karena sekali amanat adalah amanat, seperti termaktub pada surat al-Mumtahanah: l.

4. Menuju Pada Kesatuan Umat (Wahdatul-Ummah)
Dari pemaparan tadi, hendaknya visi dan misi setiap pribadi muslim lebih menekankan pada titik persamaan (kalimatus-sawa) diantara sesama muslim. Tidak perlu perbedaan paham yang seringkali diawali dari semangat hukum syariat (fikih) menyebabkan kita menjadi dua kutub yang berbeda. Perbedaan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam telah menyejarah, bukan karena perbedaan dalam hal tauhid, tetapi lebih banyak dikarenakan perbedaan pemahaman pemikiran yang berkaitan dengan kekuasaan, ideologi, dan politis. Sebagaimana per­pecahan yang kemudian menjadi sebuah fitnah besar (al-fitnatul-kubra), sejak terbunuhnya Utsman, peperangan Ali dan Muawiyah; serta Perang Shiffin antara Ali dan mertuanya sendiri. Dan terakhir pengejaran terhadap para keturunan Umayah oleh keturunan Abasiyah. Kemudian setelah itu, lahirlah berbagai paham pemikiran yang dilatarbelakangi politik, seperti Muktazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha' sebagai paham yang menyisihkan diri --i'tazala, artinya memisahkan diri-- tidak mau terlibat dari pertikaian paham syiah Ali, maupun kaum Rafidhah (pembangkang).

Sejarah perpecahan umat terlahir karena nafsu kekuasaan diantara sesama muslim sendiri dan bukan dikarenakan Islamnya. Dengan demikian, upaya kita semua adalah mencoba untuk menghayati kembali berbagai pekerjaan yang besar, di mana titik persamaan bisa dijalin diantara kelompok-kelompok dakwah yang ada. Prinsip musyawarah kemudian harus menjadi panji paling utama untuk kita kibarkan. Karena itu adalah mustahil membangun satu kepemimpinan (imamah) dan jamaah yang bersifat formalistis. Mengingat, keragaman budaya, latar belakang sejarah, dan problematika umat Islam mempunyai keragaman­nya sendiri.

Perhatian umat harus lebih ditekankan kepada aspek intelektual, sehingga mereka mampu melakukan pendekatan permasalahan dengan sikap objektif dan terbuka. Alangkah lucunya apabila kita masih terpe­rangkap oleh perbedaan kelompok hanya karena fanatisme terhadap masalah-masalah fikih. Sebatas perbedaan penafsiran akan shalat, qunut, bedug, dan tahlil. Satu kelompok anti tarawih berjamaah karena di zaman Rasulullah saw, tarawih dilakukan sendiri-sendiri di rumah masing-­masing. Padahal di zaman Umar bin Khaththab ra, shalat tarawih diorganisasikan secara berjamaah sebagai satu syiar. Alangkah naifnya apabila perbedaan dalam hal azan saja menyebabkan hati kita berpisah. Ada orang yang menganggap azan dua kali adalah bid'ah, dengan alasan hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah saw, padahal di zaman Utsman, azan dua kali dilakukannya. Lantas, apakah Umar dan Utsman bisa kita kategorikan sebagai ahli bid'ah?

Dengan demikian, semangat formalistik harus dikembangkan dengan kemampuan untuk mengembangkan aspek intelektual, etos keilmuan yang telah menjayakan umat Islam sepanjang sejarah di masa lalu. Keterbukaan dan sikap toleran (tasamuh) harus menjadi panji-panji akhlak setiap anggota jamaah dakwah, bagaimanapun bentuk dan metode dakwahnya, jangan sampai mengorbankan tali ukhuwah. Janganlah kita mengulangi sejarah yang pahit dari al-fitnatul-kubra (fitnah besar) di masa lalu, yang telah mengharu-birukan perpecahan umat dikarenakan fanatisme akan ideologis kekuasaan diantara sesama muslim. Antarkanlah perasaan bahagia setiap mereka yang mengaku muslim itu berjaya. Inilah yang kita maksudkan dengan ukhuwah, sebuah keter­bukaan yang dilandasi nilai keikhlasan untuk membahagiakan sesama saudara seiman.

Sifat formalistik yang memaksakan diri agar seluruh umat ber tahkim pada iman, masih jauh dari harapan kita bersama. Mengingat latar belakang kelahiran jamaah yang ada seringkali dipengaruhi oleh berbagai problematikanya sendiri baik secara geografis, politis, maupun antropologis. Maka visi dan misi kita dalam hal kesatuan dan persatuan tidaklah merujuk pada satu sikap yang formalistik, tetapi lebih menekan­kan kepada yang berwawasan makro, yaitu sejauh mana umat Islam ­mampu memberikan nilai dan pengaruh pada dunia. Berkaitan dengan ini, semangat berlomba-lomba dalam kebaikan (al-ghiratul fastabiqul khairat) harus menjadi kerangka acuan seluruh jamaah yang ada di muka bumi ini agar kembali kepada panji Islam, lalu ditancapkan dalam bumi kedamaian. Harus kita waspadai bahwa cepat atau lambat Islam akan dijadikan musuh bersama oleh seluruh agama yang non-Islam, sehingga berbagai pekerjaan yang berupa benturan perbedaan fikih, mazhab, hanyalah akan melelahkan kita semua, dan kemudian membuat diri kita.lemah karena saling berbantah-bantahan.

Apakah tidak cukup menjadi perhatian dan rasa prihatin kita bersama, melihat umat Islam minoritas di setiap negara menjadi objek pembantaian, dikejar, dan dinistakan, seakan-akan Islam adalah sebuah monster kejahatan yang lebih jahat dari setan? Tidakkah tergetar jiwa kita, dimana hampir seluruh negara yang penduduknya muslim, terpuruk dalam kebodohan dan kemiskinan yang kemudian menjadi contoh paling murah untuk ditayangkan di semua media massa, sehingga generasi kita merasa minder karena menyaksikan kelemahan dan kehinaan umat?

Maka kunci sukses agar Islam mampu memberikan cahaya ke­damaian dan kemuliaan bagi peradaban manusia, terletak pada rasa tanggung jawab bersama akan kehormatan Islam. Siapa pun yang menjadi masalah, bahkan kita harus ikut memberikan dorongan untuk memajukannya. Melepaskan baju kelompok, taklid dan kesempitan wawasan berpikir. Inilah kuncinya.

E. Pendidikan dan Pembinaan Akhlak

Bidang pendidikan dan pembinaan akhlak setiap pribadi muslim merupakan program terpadu dan bersifat kontinu. Segala kegiatannya diawali dari hal yang paling sederhana, sesungguhnya amal yang paling afdal adalah amalan yang kontinu walaupun sedikit. Kontinuitas merupakan ciri program seluruh aktivitas kerja pribadi muslim, mulai setahap demi setahap, melalui jenjang (marhalah) yang tuntas, baru kemudian beralih pada bidang kajian selanjutnya. Karena program pendidikan Islam menekankan pada praktik sikap dan perilaku, merujuk pada niat, usaha dan hasil. Menjauhi segala yang bersifat mubazir, tetapi selalu memprioritaskan segala bentuk amal yang nyata, terasa, dan bermanfaat. Sikap verbalitas diskusi-diskusi yang melelahkan dan tidak berkesimpulan bukanlah ciri seorang ikhwan, melainkan amalnyalah yang menjadi panji kehidupannya.

Setiap pembicaraan taklim ataupun tarbiyah jamaah selalu diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang mengharapkan sebuah jawaban kon­kret dari pertanyaan: setelah ini apa wujudnya? Setelah diskusi ini apa praktiknya? Begitulah seterusnya. Setiap anggota jamaah didorong untuk berbuat dan menghasilkan sesuatu karena mereka sadar bahwa kehadiran dirinya harus memberikan arti. Islam ajaran yang bersifat menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan (syamil-kamil-mutakamil) dan akan terasa menjadi rahmatan lil-alamin, apabila setiap pribadi muslim memang merasakan kehadirannya untuk memerangi kebatilan dan menyebarkan perdamaian, hanya akan terwujud apabila di hati setiap pribadi muslim tertanam semangat dan perjuangan.

Maka jelaslah bahwa Islam adalah agama amaliah, agama gerak nyata yang dijalin beton persaudaraan di atas fondasi bangunan tauhid yang kokoh. Dan saf yang kuat benteng yang kukuh, serta binaan keimanan yang berkesinambungan secara kolektif (jama'i) melalui "amal jamaah" pula. Pola pendidikan yang dilaksanakan secara jamaah ini, awalnya didasarkan pada keimanan, keyakinan, dan pemaknaan yang mendalam akan konsekuensi pengucapan syahadat. Dengan keyakinan dan pemahaman akan dua kalimat syahadat, setiap anggota jamaah ikhwan adalah pribadi muslim yang telah dicelup (sibghah Ilahiyah) dengan kecintaan yang sangat mendalam kepada Allah, sehingga pantas menjadi satu generasi yang berakhlak Al-Qur'an dan mempunyai ka­rakter kuat sebagai pribadi yang patut diteladani.

Rasa cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah "harga final" yang tidak pernah dapat ditawar dengan harga dan bentuk benda apa pun. Syahadat adalah darah daging dirinya yang membawa konsekuensi kemerdekaan insaniyah dan melahirkan generasi rabbaniyah yang hanya ter­patri di dadanya kalimat "Lailaha ilallah Muhammadarrasulullah."  Hanya ada satu moto dalam hidup setiap ikhwan. Dia harus hidup mulia se­bagai muslim. Dan apabila kematian telah datang kepadanya, dia akan me­nutup kehidupan dengan kematian sebagai seorang syuhada, insya Allah.

Mengingat pentingnya pola pendidikan dan pembinaan muslim dari sisi pribadi dan jamaah, maka setiap anggota diwajibkan untuk tidak melepaskan diri dari ikatan persaudaraan. Dalam ikatan ini bercucuran hikmah, ilmu, dan amal-amal prestatif yang memberikan stimulan atau motivasi agar dirinya menjadi manusia yang berakhlak karimah. Pola pendidikan jamaah ditekankan pada program yang padu dari kekuatan iman, ilmu dan amal, di mana tidak mungkin salah satu dari tiga rangkaian ini ditinggalkan. Hanya dengan penguasaan ilmu pengetahuan, maka kita dapat menggerakkan masyarakat menuju kepada kemuliaan. Dengan demikian, salah satu ciri setiap anggota jamaah ikhwan adalah rasa cintanya akan ilmu pengetahuan dan kegelisahan dirinya untuk meng­amalkannya. Walau ilmu yang dimilikinya hanyalah bagaikan tetesan air dibandingkan dengan ilmu Allah pun yang luasnya melebihi samudra.

Ketahuilah bahwa Islam sangat memuliakan orang-orang yang berilmu dan mendorong setiap pribadi muslim untuk menjadi tipe manusia yang "gandrung" terhadap ilmu, sebagaimana firman Allah,

"Allah menyatakan, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatahan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha­perkasa lagi Mahabijaksana." (Ali Imran: 18).

"... Katakanlah, 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (az-Zumar: 9).

"... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...." (al-Mujaadalah:11).

Atas dasar rasa tanggung jawab maka para anggota jamaah tidak mungkin melepaskan atau menghindari kewajiban dirinya untuk me­nimba ilmu, membina akhlak, dan mengamalkan ajaran Islam secara prestati£ Setiap anggota ikhwan adalah murid dan sekaligus mursyid­ orang yang menunjukkan jalan yang benar. Ia juga belajar, sekaligus mengajar, sehingga merata, dan menyebarlah kekuatan ilmu dalam tatanan jamaahnya. Harus tertanam di dalam jiwa setiap anggota jamaah yang mengikuti taklim atau pengajian yang diselenggarakan oleh majelis-majelis mana pun. Hal itu dimaksudkan agar dirinya harus memberikan arti, dan mampu memberikan kontribusi dalam kemajuan taklim ter sebut. Kita tidak boleh membuat tabir-tabir penyekat atau berdalih, "Taklim yang diselenggarakan tersebut atau taklim yang mengundangku tersebut bukan dari jamaahku."

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa salah satu tiang pembinaan akhlak adalah persaudaraan, maka hargailah undangan yang akan membersihkan jiwa, serta menambah wawasan keilmuan, walau dari mana pun. Dari kelompok mana pun, selama engkau memiliki waktu luang untuk menghadirinya. Karena kita sangat sadar bahwa dengan melakukan studi banding kiranya akan tersimpulkan di batin kita suatu hikmah kebijaksanaan. Suatu keluasan dan kelapangan hati yang lebar.

Akan tetapi sebaliknya, apabila kita sudah apriori, membuat sekat-sekat, hitam-putih, bahkan dengan tanpa pengetahuan sedikit pun, kita menghakimi sesama saudara. Sungguh hal itu bukanlah akhlak dari seorang muslim yang merindukan jamaah persaudaraan sebagai tali perekat umatan wahidah. Pembinaan akhlak para anggota jamaah ikhwan, bukan sekadar mencari ilmu, atau mencari keterangan (nash) untuk memperkuat kiprah dirinya. Akan tetapi, di balik itu tersimpan suatu misi untuk menebarkan benih-benih ukhuwah. Suatu misi dari silaturahmi karena Allah semata-mata. Atas dasar semangat mondial universal dan dengan semangat persaudaraan inilah, hendaknya jamaah Islamiyah yang telah konkret dapat melakukan pembinaan dirinya.

Mereka tidak hanya mengkaji hukum-hukum syariat, tetapi juga mempelajari berbagai keterampilan dan ilmu-ilmu penunjang. Mereka tidak hanya mengenal makna dan "khittah" jamaahnya, tetapi juga membuka lebar untuk melakukan mudzakarah, yaitu dialog dengan siapa pun atas dasar hikmah, saling menghargai, dan memahami posisi satu sama lainnya.

Pembinaan akhlak jamaah ini adalah suatu upaya untuk memelihara cinta kasih dan persaudaraan. Bukan sebagai sarana untuk mencari dasar-dasar yang menambah lebar jurang pemisah diantara sesama muslim. Perbedaan paham diantara sesama muslim, jangan menjadi sebab terjadinya jurang pemisah apalagi konflik, tetapi sebaliknya kita mencoba saling memahami dan saling berkerja sama dalam hal hal yang sama. Penilaian buruk dan baik terhadap tata cara beribadah seseorang janganlah hanya didasarkan pada semangat mutlak-mutlakkan, karena mengubah keyakinan seseorang dalam tata cara ibadah itu membutuh­kan suatu proses, suatu kesabaran, dan ketelatenan yang amat dahsyat.

Begitu juga halnya dalam kehidupan dengan nonmuslim, semangat ukhuwah bashariyah dan wathaniyah menjadi salah satu jembatan untuk saling mengulurkan tangan membangun satu tatanan masyarakat yang adil dan berlimpah cinta.

Mengubah sikap seseorang bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Karena disamping masalah hidayah, ada pula faktor lainnya yang mungkin lebih kompleks, yaitu mencakup situasi budaya, sosial-politis, dan ekonomi seseorang. Sebab dengan semangat seperti itulah, maka akan tercipta pembinaan akhlak para jamaah tersebut, sehingga kita akan merasakan keindahan bersaudara, kelezatan makna ukhuwah, dan kesejukan silaturahmi.

F. Tantangan Global Dakwah Islamiyah

Gerakan zionisme --dengan konspirasi globalnya-- harus diantisipasi lagi dengan metode dakwah yang bersifat global pula. Memanfaatkan seluruh sarana yang ada dan mengembangkan cara berpikir yang lebih membumi, aktual, dan menyangkut langsung kehidupan umat. Dakwah dengan pola pendekatan normatif harus diperkaya dengan dakwah pendekatan informatif yang mampu membuka cakrawala dan kualitas berpikir umat untuk mengantarkannya ke dunia yang penuh dengan tantangan tersebut

Bila kaum zionis mempersiapkan satu "ordo universal" yang ingin mengangkangi dunia dengan segala pengaruhnya, maka dakwah Islami­yah harus memberikan jawaban sekaligus memenangkan solusi islami yang secara nyata dan aplikatif dapat dicerna oleh objek dakwah.

Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai masa depan umat Islam di belahan Timur merupakan sasaran atau target penghancuran kaum zionis. Mereka tidak pernah akan membiarkan umat Islam kuat. Mereka tidak akan pernah tenang tidurnya, bila melihat suatu negara yang bersatu dan mempunyai prospektus cemerlang di masa depan. Negara Indonesia yang notabene dibanggakan karena mayoritas penduduknya beragama Islam, mulai memperlihatkan peran aktifnya di dunia inter­nasional dikarenakan adanya stabilitas serta perkembangan ekonomi ­oleh IMF dan Bank Dunia dipujikannya sebagai negara industri baru (newly industrialized country) --harus dijadikan salah satu target neo-­imperialisme kaum zionis. Namun, belakangan diketahui bahwa pujian itu hanyalah sebuah pujian palsu untuk mempermalukan dan menambah sakitnya kejatuhan bangsa Indonesia. Kepentingan ekonomi global yang dikuasai zionisme Yahudi itu, secara transparan mereka sengaja menghancur-luluhkan perekonomian Indonesia agar pada waktu yang tepat mereka akan segera membanjiri Ibu Pertiwi dengan menguasai seluruh sektor riil, melalui pembelian saham yang sangat murah. Program swastanisasi dan privatisasi yang semula dicanangkan akhirnya jatuh kepada pengusaha kaum zionis. Mereka pun dengan sangat leluasa mengambil alih seluruh sektor kehidupan ekonomi. Kemudian dengan itu, mereka mampu mempunyai kekuatan untuk melakukan tekanan terhadap berbagai kebijakan politik dan arah pemerintahan, sebagai­mana ucapan raja perbankan international dari dinasti Rothchild yang mencanangkan satu moto, "Siapa yang mengendalikan uang, maka ia dapat mengendalikan suatu bangsa, who control over money, they can control over the nation too."

Berbagai kerusuhan yang semakin tidak terkendali, seharusnya disikapi sebagai permasalahan yang tidak semata-mata murni masalah domestik. Campur tangan kaum zionis dengan gerakan Dajalnya yang mempunyai jaringan konspirasi bawah tanah (daabatam minal ardhi) ­dengan berbagai peralatan teknologi spionasenya, perusahaan jaringan informasi multinasionalnya, merupakan bentuk campur tangan agen rahasia yang sangat rapi dan sulit untuk dimunculkan (dibongkar) ke permukaan keberadaannya. Janganlah mata hati kita terkecoh hanya kepada ketidak-mampuan aparat yang gagal mengungkap aktor intelektual dibalik gerakan santet Banyuwangi yang menjadi kasus gelap (dark case), sebagaimana para pelaku Peristiwa Ketapang, yang konon para premannya telah berhasil diamankan petugas dan mengundang berbagai spekulasi.

Ke manakah mereka? Mengapa mereka tidak diadili? Apakah mereka diamankan ataukah dibina untuk membuat kerusuhan baru? Apakah mungkin karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang gampang lupa; setiap peristiwa besar manapun raib bagaikan kepulan asap yang lalu lenyap diterpa angin dan dilupakan. Seakan-akan segala kepedihan tidak membekas sama sekali. Berbagai pertanyaan serta kerusuhan demi kerusuhan semakin gelap dan tidak terkendali. Logika sehat pasti akan menjawab, "Kemungkinan besar memang ada gerakan konspirasi Dajal yang menciptakan kerusuhan agar bangsa Indonesia tercabik dan terpuruk nelangsa dalam penderitaan serta frustasi sosial yang tinggi." Apakah mungkin ABRI yang konon terkuat di ASEAN, bahkan ikut aktif sebagai tentara perdamaian di Kamboja dan Bosnia; juga dengan jaringan intelejennya yang dikenal sangat lincah dan sigap, lantas kehilangan sama sekali seluruh profesionalismenya?

Domino effect theory, yaitu teori konspirasi internasional untuk menghancurkan suatu negara yang sedang melaksanakan suksesi; (lihat Webster Dictionary, ed.) memberikan gambaran bahwa para provokator-provokator iniernasional mencoba menyulut satu kerusuhan demi kerusuhan di Indonesia, yang seharusnya diantisipasi oleh kita sejak awal. Hal itu mengingat potensi konflik di negeri yang pluralistik ini sangat rentan terkena "sindrom konflik". Kerusuhan yang menjalar dari satu tempat ke tempat yang lain adalah bentuk "bantai dan lari" (hit and run) dan cara-cara yang sangat diketahui oleh para intelejen bahwa keadaan ini hanya akan menguntungkan kaum zionis dan menyeng­sarakan umat manusia, khususnya umat Islam termasuk bangsa Indo­nesia. Kita menggulingkan tirani, tetapi anehnya kita menjadi tirani baru, bahkan kita lebih tirani daripada tirani sebelumnya. Hawa nafsu, percikan amarah, dan berbagai potensi konflik, seakan-akan ditumpahkan mengikuti skenario "zaman aquarius", yang diyakini oleh para pemistik zionis. Bila perang etnik, agama, ras, dan golongan telah lengkap terjadi, maka kita akan menyaksikan Indonesia yang terbakar, chaos, dan anarkis. Pada saat itulah, polisi pengawal Dajal dengan leluasa "mengobok-obok" Indonesia. Dan atas nama perdamaian, mereka menyodorkan berbagai konsep yang akan mengeliminasi mitos-mitos negara kesatuan dan persatuan: gemah ripah loh jinawi, yang selama ini menjadi salah satu kebanggaan nasional bangsa Indonesia. Bagi kaum zionis, segala dogma dan mitos seperti itu harus disingkirkan dan diganti dengan mitos baru ala zionisme, yaitu semboyan membangun "era reformasi baru": satu pemerintahan yang tunduk serta patuh kepada majikannya, satu sistem perekonomian dan moneter yang memperkaya khazanah perbendaharaannya, satu agama yaitu unitarian-universalist sesuai dengan kandungan falsafah Iluminasi, novus ordo seclorum.

No comments:

Post a Comment