Informasi seputar Cileungsi Jawa Barat & sekitarnya
Ingin megiklankan produk Anda ?
Segera email ke wartamampir@yahoo.com

spr

...................................................... PPC Iklan Blogger Indonesia ....................................................

...................................................... ..................... ..............

Tuesday, 9 August 2011

DAJAL & SIMBOL SETAN ( Bab IV )



Bab IV
JAMAAH DAN ESENSI PERSATUAN UMAT

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah  kamu bercera-berai…" (Ali Imran:103).

Menghadapi tantangan zaman yang semakin mengglobal serta jaringan Dajal yang telah merasuki seluruh denyut kehidupan manusia, seharusnya ada semacam tekad yang sungguh-sungguh diantara kita. Yaitu, tekad bahwa gerakan kaum kafir tidak mungkin dihadapi secara individu, kecuali dalam satu tatanan persatuan umat (ittihadul-ummah) yang hanya berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kekuatan, kekompakan, kecerdasan, serta ambisi kaum Dajal  matrialistis tersebut bukan sebuah ilusi, tetapi benar-benar nyata. Bukan hanya dapat dibuktikan secara faktual, tetapi diperingatkan dalam Al-Qur'an dan hadits. Sehingga, tidak ada satu cara pun untuk menghadapi mereka kecuali membangun akidah dan pemahaman agama secara komprehensif bagi generasi muda agar mereka mampu menghadapi tantangan global dan memenangkannya, sebagaimana termaktub dalam surat at-Taubah:33, al-Fath:28, dan ash-Shaff:9.

Sebagaimana diketahui, agama-agama formal di dunia Barat telah kehilangan nilainya sebagai pegangan hidup. Hal ini dimanfaatkan olehnya dengan membuat agama-agama palsu dengan memperkenalkan berbagai aliran-aliran okultisme mistik yang direkayasa dan dipromosi­kan melalui berbagai media sebagai agama baru yang bersifat menipu dan hanyalah sebuah angan-angan belaka (deceptive).

Pengaruh aliran filsafat neo-Platonisme (paham Plato, ed.) yang banyak mempengaruhi agama Kristen telah memperkuat kecenderung­an dunia Barat untuk melahirkan berbagai aliran mistik okultis yang dikemas dan dipropagandakan dengan bahasa rasional dan penuh dengan janji-janji. Sehingga, kemudian orang-orang yang dalam keadaan depresi sangat mudah terpengaruh untuk menerimanya. Di satu pihak, falsafah aliran Aristoteles yang banyak mempengaruhi agama Yahudi lebih menekankan pada pendekatan yang menonjolkan rasio telah menafsirkan berbagai ayat Bibel (Alkitab) dengan semangat Judaisme zionistik, di mana ada semacam misi imperialistik untuk menguasai dunia dalam bentuk yang lebih rasional. Sebagaimana diketahui, agama Yahudi bukanlah agama misionaris sehingga semangat ekspansi zionisnya bukan atas dasar berapa banyak orang harus beragama Yahudi, tetapi berapa banyak orang dikuasai oleh paham-paham rasionalitasnya, ­sebagaimana telah dibahas sebelumnya, yaitu melalui penguasaan teknologi, moneter, dan konspirasi global. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan daabatam minal ardhi (binatang melata dari dalam bumi), yaitu sosok bangsa yang selama ini berada di bawah tanah, yang melakukan gerakan rahasia. Dan pada milenium ketiga ini, sosok tersebut akan menampakkan wujudnya secara terang-terangan untuk menguasai dunia serta menyingkirkan umat beragama, terutarna umat Islam.

Kunci untuk membendungnya tidak lain adalah memperkokoh seluruh tatanan sistem dan derap kehidupan, sesuai dengan Sunnah Rasul, sebagaimana firman-Nya:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-­banyaknya agar kamu beruntung." (al-Anfal: 45).

Oleh sebab itu, kalau memang iman sudah bersemayam di dalam hati dan penuh dengan kerinduan akan persatuan dan kekuatan umat, kiranya ada baiknya kita mentafakuri makna dari shalat berjamaah, yaitu shalat wajib yang dilaksanakan lebih dari satu orang, yang nilai pahalanya lebih dibandingkan dengan shalat sendirian atau munfarid. Beberapa isi kandungan etika yang dikaitkan dengan nilai dan prinsip shalat ber­
jamaah, diantaranya sebagai berikut:

1. Apabila iqamat sudah dilaksanakan maka diwajibkan untuk segera menetapkan, menunjuk, dan memilih siapa yang akan menjadi imam dalam shalat berjamaah, juga kewajiban untuk meluruskan shaf (baris).

2. Dilarang untuk mendahului imam, baik dalam gerakan maupun bacaan.

3. Dilarang mengeraskan suara bacaan melebihi ucapan atau suara imam.

4. Kewajiban untuk melakukan gerakan yang kompak diantara sesama makmum, setelah terlebih dahulu mendapatkan isyarat sempurna dari imam.

5. Dilarang membuat jamaah baru, apabila jamaah yang awal belum selesai (menutup salam), bahkan kepada makmum yang tertinggal (masbuk) diharuskan untuk segera bergabung dengan jamaah.

6. Diwajibkan mengikuti seluruh gerakan imam tanpa "mencadangi-nya", kecuali apabila imam berbuat salah baik dalam ucapan maupun gerakannya, maka kewajiban makmum untuk menegurnya dengan mengucapkan, "Subhanallah."

Alangkah indahnya tujuh prinsip yang terkandung dalam tatanan shalat berjamaah. Di dalamnya tersirat suatu pesan yang teramat dalam untuk dijadikan bahan renungan bagi setiap pribadi muslim yang sedang berjuang untuk meraih keindahan dan kelezatan iman. Sehingga pantaslah ia untuk disebut sebagai seorang mukmin. Prinsip iqamat me­nunjukkan suatu simbolisasi bahwa mereka yang telah berkumpul untuk niat (shalat berjamaah) yang sama, harus segera mengumandangkan iqamat. Dengan panggilan iqamat tersebut, terputuslah segala urusan dengan dunia luar, tidak ada lagi yang melakukan pekerjaan lain, kecuali dengan penuh tanggung jawab memenuhi seruan iqamat untuk segera melaksanakan shalat berjamaah.

Iqamat adalah lambang yang menyerukan persiapan untuk menuju pada satu arah kiblat yang sama, yaitu Ka'bah Baitullah. Ruku yang sama, iktidal yang sama, bahkan ucapan serta niat yang sama. Dengan niat yang sama ini, mereka segera menunjuk imam shalat. Seakan-akan, hal itu merupakan suatu simbol agar kaum mukmin segera menunjuk siapa pemimpinnya, yang secara akrab, transparan dapat menuntun hidup dan kehidupannya yang maslahat dalam tatanan suara takbir yang indah. Di
dalam hubungan makmum dan imam ini, terlihat pula "prinsip demo­krasi" yang dilambangkan melalui suatu norma bahwa apabila imam berbuat salah, baik dalam ruku maupun bacaannya, maka makmum dapat mengoreksinya dengan mengucapkan subhanallah atau melurus­kan bacaannya yang benar. Demikian pula, apabila secara nyata imam telah batal maka irnam tersebut harus secara konsekuen segera mundur (untuk memperbaiki wudhunya) dan segera diganti oleh makmum di belakangnya untuk meneruskan shalat berjamaah.

Kewajiban untuk meluruskan shaf adalah suatu prinsip yang me­nunjukkan satu simbol manajemen serta pengelolaan jamaah yang berpadu dan bagaikan benteng yang kokoh-seperti yang disebutkan dalam surat ash-Shaff: 4 --bahu bersentuhan dengan bahu yang lain, barisannya lurus, sehingga tidak satu pun ada ruang yang kosong yang memberi peluang kepada setan untuk merusak dan menggoda kekhusyu'an shalat berjamaah.

Rasulullah saw bersabda, "Imam itu untuk diikuti", sehingga kita pun mahfum bahwa yang dimaksudkan dengan "diikuti", tentunya berada di belakang, dan bergerak sesuai dengan komando sang imam. Kepatuhan inilah yang menyebabkan sempurnanya jamaah. Dilarangnya makmum mengeraskan suara melebihi imam, adalah suatu perlambang bahwa para makmum tidak diperkenankan untuk mengambil tindakan atau menyempal di luar apa yang ditetapkan oleh pemimpinnya. Karena dalam prinsip berjamaah ini, seluruh tatanan gerak harus di bawah satu kepemimpinan. Penyempalan atau tindakan lain hanya akan membatal­kan makna dan kesempurnaan shalat itu sendiri.

Selama gerakan shalat berjamaah belum selesai, dan ada orang yang tertinggal atau baru memasuki ruang masjid, maka orang yang baru datang tersebut (makmum masbuk), wajib bergabung dan masuk diantara shaf yang ada, kemudian dengan khusyu' mengikuti seluruh gerakan imamnya. Prinsip ini seakan memberikan suatu simbolisasi bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan untuk menyempal, membuat gerakan sendiri, padahal sudah ada shaf yang bergerak terlebih dahulu.

Inilah tatanan dalam shalat berjamaah yang ternyata mengandung nilai-nilai serta prinsip yang menunjukkan suatu perlambang agar umat Islam wajib berjamaah, apabila sudah berada dalam satu tempat, waktu shalat, dan telah mengumandangkan iqamat. Di dalam Al-Qur'an pun banyak disebutkan tentang wajibnya kita hidup berjamaah. Bahkan, pertolongan Allah hanya diberikan kepada setiap mukmin yang hidup berjamaah (yadullah fauqal jamaah), penuh persaudaraan, tidak pernah berbantah bantahan, saling mengasihi dalam suka dan duka yang dibalut oleh cahaya ukhuwah semata.

Sangat jelas, Allah memerintahkan agar kita hanya mengambil jalur petunjuk serta ikatan batin yang hanya didasarkan pada tali Allah, dan menghindarkan perpecahan (tafaruk), sebagaimana termaktub pada surat Ali Imran:103 dan ar-Rum: 32. Di mana pun seorang muslim berada, dia akan terus meningkatkan kualitas dirinya untuk menjadi bagian dari ke­lompok kaum mukminin, karena hanya dengan menjadi seorang mukminin, maka Allah akan memberikan pertolongan kepada dirinya. Seruan Allah di dalam Al-Qur'an yang merupakan petunjuk yang utama dan pertama bagi mereka yang telah berikrar syahadat, ditujukan hanya kepada mereka yang telah beriman (yaa ayuhaladzina amanuu).

Dengan demikian, yang dimaksud dengan jamaah, bukanlah hanya sekadar sekelompok orang, tetapi di dalamnya terikat satu "semen perekat" yang sangat kental, yaitu cita dan rasa, visi dan tindakan yang seragam, serta menyatu dalam kerinduan untuk meraih cinta dan ridha Allah (mahab'bah lillah) semata-mata. Oleh karena setiap anggota jamaah sangat sadar bahwasanya hanya orang-orang yang istiqamah, serta memiliki jiwa yang tenang sajalah yang akan mendapatkan kemuliaan di hari akhir kelak. Bagi setiap muslim yang mukmin, kehadiran jamaah merupakan pelabuhan hati, sekaligus sebagai terminal perjuangan hidupnya. Di dalam jamaah itulah, dia menimba butit-butir kebijakan hidup. Di dalam jamaah itu pulalah, ia mengasuh keimanannya sehingga setiap kali menambatkan hatinya, dia pun merasakan kedamaian Qur'ani.

Akan tetapi, tidak mungkinlah dia tenggelam atau terlalu asyik untuk menambatkan dirinya di pelabuhan ini. Sebab, selanjutnya dia harus segera berangkat mengayuh biduknya menerjang ombak samudra kehidupan yang penuh dengan liku-liku tantangan. Lalu dia menjelajahi samudra tersebut untuk mencari fadilah dan menaburkan jejak-jejak prestasi Qur'ani di se panjang perjalanannya, berdakwah, dan beruswah ­menyeru dan menjadikan dirinya sebagai manusia yang paling pantas menjadi teladan.

Tengoklah perilaku kita ketika mengikuti shalat Jumat, tidak ada khotbah dan shalat berjamaah yang terus berlangsung seharian, kecuali ditutup dengan salam. Kemudian setiap pribadi kembali ke tempatnya masing-masing untuk menyebar di muka bumi (f'antasiruu fil ardhi), lalu mempraktekkan apa yang telah diingatkan khotib, sebagimana disebutkan dalam surat al-Jumu'ah:10 dan al-Mulk:15. Maka jelas sudah bahwa jamaah bukan sekedar kumpulan manusia (as a crowd). Oleh karena di dalarn jamaah, ada satu prinsip yang mutlak harus dijadikan landasan pokoknya, ialah berpautnya cinta.

Dengan cinta sebagai dasar persaudaraan dan kegiatannya, maka hati setiap anggota akan terlihat transparan (tembus pandang). Tidak ada yang satu mencoba menyembunyikan cita rasanya kepada anggotanya yang lain. Karena hal ini jelas bertentangan dengan prinsip persaudaraan muslim, sebagaimana Nabi bersabda bahwa setiap muslim dengan muslim lainnya bagaikan satu bangunan tubuh, yang satu mengokohkan yang lainnya. Ke dalam pun saling mengoreksi atau menasihati dan ke luar dia saling mengokohkan dan membelanya dari jebakan kekafiran maupun bujukan kekufuran.

Hal ini berarti bahwa esensi jamaah bukanlah terletak pada wujud, tetapi lebih penting lagi adalah ikatan emosional dan keterikatan jiwa. Sebab, Al-Qur'an menegaskan bahwa tipikal jamaah bukanlah se­kelompok manusia yang sekadar berjumpanya sejumlah manusia, sedangkan hatinya berpecah, itikad anggotanya berbeda satu dengan lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, "...Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah...." (al-Hasyr: 14).

Hati yang dimaksudkan adalah aspirasi, ide, serta kerangka acuan dan tujuan dari para anggota jamaah yang sifatnya harus sama dan sebangun; yaitu hidup dalam jalan dan pengawasan Al-Qur'an serta Sunnah. Bagi kita yang telah mengaku diri sebagai seorang muslim, tentunya seluruh sikap hidup kita hanya didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah, sebab apabila dia mengambil ajaran atau panduan hidup yang lain, maka gugurlah nilai dan kualitas dirinya sebagai seorang muslim.

Adapun sikap dirinya hanyalah berserah diri atau taslim, seraya berkata, "kami dengar dan aku taat" (sami'na wa atha'na) tanpa dislogani kecuali mengharapkan ridha Allah semata-mata. Apabila Al-Qur'an dan Sunnah sudah disepakati sebagai satu-satunya petunjuk utama dan pertama serta dijadikan sebagai dasar aspirasi dan tindakan kita, maka bolehlah kita bersiap diri untuk menuju pada tingkat yang berikutnya, yaitu meraih gelar sebagai seorang pribadi mukmin, sebagaimana disebutkan pada surat at-Taubah:111-112.

Mengingat konsep jamaah adalah prinsip yang disyariatkan, maka siapa pun yang mencoba untuk menutup mata, bahkan tidak mau peduli dengan prinsip ini, maka terjebaklah dirinya ke dalam tatanan yang disadari maupun tidak. Dia telah mencabik ajarannya sendiri. Logikanya sangat sederhana, apabila sahnya seorang muslim karena syahadat, maka konsekuensi syahadat adalah bersikap hidup konsekuen dan de­nyutan jantungnya selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

Prinsip berjamaah adalah mutlak ajaran Al-Qur'an. Kemudian dicontohkan dengan sangat indah oleh Rasulullah saw . Maka kesimpul­annya, siapa pun yang tidak mau peduli dengan prinsip jamaah adalah membohongi dirinya sendiri. Apabila penolakan atas prinsip jamaah sudah mengakar sebagai suatu egoisme dan kecenderungan untuk mengisolasi diri dari pergaulan tatanan jamaah, maka jatuhlah dia ke dalam kelompok sempalan (mufariqun). Haru birunya umat Islam di­karenakan dia telah mencampakkan prinsip berjamaah. Bagaikan benda asing, umat Islam merasa alergi setiap mendengarkan kata kata tentang jamaah, bahkan bagaikan penyakit yang bisa menular Upaya dan ke­sadaran apa pun tentang arti jamaah ini, pastilah dianggap aneh, justru oleh orang Islam sendiri, sungguh ironis.

Apabila umat Islam sudah merasa aneh dengan ajarannya sendiri, sungguh apakah Allah tidak berkenan menganugerahkan karunia-Nya? Kehancuran umat Islam, bukan karena jumlahnya yang banyak, tetapi justru karena mereka sudah merasa asing dengan esensi agamanya sendiri. Kejayaan Islam pada kurun waktu paling awal, dimulai dari prinsip jamaah ini. Ikatan persaudaraan yang kental, perasaan yang sama di dalam menghadapi segala tantangan kehidupan, dan merasa memiliki kebenaran Islam adalah kondisi dari sesuatu yang mutlak. Mereka tidak pernah berniat atau melanggarnya sedikit pun, karena bagi mereka menjadi seorang muslim konsekuen adalah suatu aksioma Ilahiah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi keabsahannya.

Persatuan muslim bukanlah dikarenakan ikatan bangsa, primordial, kesukuan, ras, atau kelompok profesi, tetapi persatuan itu didasarkan atas iman semata-mata yang ditampung dalam semangat persaudaraan jamaah. Sejarah tentang kejayaan dan kemuliaan umat Islam di masa lalu tidak bisa dipungkiri eksistensinya tanpa kehadiran semangat jamaah. Pada periode awal, sejak di Darul Arqam, para sahabat yang mendarah-­dagingi jamaah dengan mewarnai dunia dengan tauhid, telah melahirkan satu generasi yang sangat unik dan sangat disegani. Itu semua karena mereka menjadikan jamaah sebagai pelabuhan hati mereka untuk me­nimba, mengkaji, dan mempraktekkan semangat Qur'ani yang diilhami oleh tali persaudaraan yang teramat kuat

Tetapi tengoklah sekarang ini umat Islam terpelanting dalam kolam­-kolam kecil, kebanggaan turunan, kelompok profesi, dan kepentingan, terperangkap dalam semangat primordial yang sempit. Kalaupun mereka mengaku sesama muslim, tetapi kepentingan golongan, suku, dan bangsa justru menjadikan penyekat yang paling utama. Kebanggaan kelompok ternyata nilainya telah melebihi semangat agamanya sendiri, bahkan melebihi semangat kemerdekaan dirinya sendiri yang setiap lima kali sehari diikrarkan sebuah pengakuan tauhid dalam melasanakan shalat, innaa shalati wa nusuki wa mahyaya wamamati lillahirabil alamiin. Sayang, banyak umat Islam tidak memahami dan tidak mau konsekuen mempraktekkan ucapannya sendiri.

Doa Iftitah tersebut kini hanya tinggal penghias bibir, sekadar formalitas, bahkan mungkin saja tanpa disadarinya apa yang diucapkan dalam doanya itu hanyalah sekadar pelengkap shalat, tidak ada bekasnya, dan tidak ada getaran kalbu. Tapi kita pun mahfum bagaimana bisa menghayati isi doa tersebut, karena kita pun tidak mengerti, bahkan membacanya pun kadang-kadang sangat terburu-buru, tanpa kehadiran jiwa, serta tanpa emosi sama sekali.

Padahal, kalau saja setiap pribadi muslim menyadari betapa dalamnya ikrar yang dia ucapkan ketika membaca doa iftitah tersebut, niscaya akan bergetar jiwanya, dan tersungkur dengan penuh kesahduan di hadapan Ilahi Rabbi. Oleh karena ikrar itu adalah lambang "kebebasan bertanggung jawab" manusia sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifah fil-ardhi). Kemerdekaan jiwa inilah yang dimiliki oleh kelompok para pengikut Rasul pada kurun pertama kejayaan Islam. Mereka bergabung dalam jamaah yang secara kuantitatif adalah minoritas, tetapi tampil sebagai kelompok yang bernilai, dikarenakan memiliki harga diri dan kemuliaan sebagai manusia merdeka.

Rasio yang dibimbing oleh hawa nafsu, tentunya tidak pernah akan memahami untuk dapat mengalahkan kemenangan umat Islam di dalam Perang Badar untuk melawan musuh-musuh jahiliah yang berlipat ganda, persenjataan yang konvensional, dan terbatas? Akan tetapi, rasio yang dibimbing cahaya Ilahi, lentera iman, dan semangat tauhid, pastilah dengan sangat tangkas akan segera memperoleh jawabannya, "Insya Allah, kita pasti menang karena Allah beserta kita."

Sesekali kita pun boleh bertanya, semangat apakah gerangan yang mengilhami para "penyiar" Islam sehingga dalam kurun waktu yang sangat singkat, cahaya kebenaran telah memeluk separo dari belahan bumi. Padahal mereka tidak dibayar, tidak mendapatkan pakaian yang cukup, bahkan harus menghadapi berbagai suku bangsa yang asing, daerah yang sulit, dan berbagai budaya yang sudah mengakar di ka­langan penduduk. Akan tetapi, para mujahid dakwah mampu menyebarkan Islam dalam tempo yang sangat menakjubkan.

Sir Thomas Arnold yang menulis sebuah buku berjudul, The Preaching of Islam terkagum-kagum melihat prestasi ini, sehingga walaupun agak sarkastis dia melukiskan kejayaan sinar dakwah itu sebagai "suatu kekuatan dakwah yang luar biasa daripada Roma". Prestasi ini semua dikarenakan di dalam dada para pelopor pertama (assabiquunal awwalun) memiliki kepribadian yang sangat khas, yaitu hanya berpandukan pada Al-Qur'an. Mereka tidak pernah mempunyai sedikit pun keraguan terhadap isi kandungan Al-Qur'an sebagai panduan hidup yang akan memberikan kekuatan yang maha dahsyat apabila mau melaksanakannya dengan konsekuen.

Mereka adalah tipikal manusia yang berorientasi pada prestasi amaliah. Sehingga cara berpikir para jamaah ini, hanya semata-mata ingin dan sangatlah rindu untuk segera mengamalkan Al-Qur'an, walaupun hanya satu ayat. Betapa bersungguh-sungguhnya mereka, sehingga dalam sebuah hadits yang sahih, Rasulullah menyuruh Abdullah bin Umar, supaya mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam seminggu. Begitulah juga para sahabat seperti Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud, dan Ubai bin Ka'ab telah menjadi bagian dari wiridnya untuk mengkhatamkan Al-Qur'an pada setiap hari Jumat.

Merupakan kebiasaan bagi para sahabat. Mereka secara bergotong-royong membaca Al-Qur'an, dengan cara membagi-baginya berdasarkan surat-surat tertentu secara berurutan dari mulai surat al-Baqarah sampai an-Nas, sehingga dalam tempo yang sangat singkat mereka mampu mengkhatamkannya. Inilah salah satu ciri khas dari pribadi anggota
jamaah, di mana Al-Qur'an dijadikannya "ramuan batin" dan bagian tidak terpisahkan dari hidupnya. Mereka merasa tidak bernilai apabila ada satu hari tanpa membaca Al-Qur'an.

Semangatnya untuk membaca dan mengkhatamkan Al-Qur'an, yang didorong oleh keikhlasan yang murni, bukanlah sekadar untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai bahan ilmu pengetahuan, tetapi sebagai salah satu panggilan jiwa, perasaan akrab dengan Ilahi. Kemudian, muncul dorongan untuk segera lari dan ke luar dari kemah-kemah mereka, mengembara ke setiap pelosok bumi, untuk mengamalkan dan mendakwahkannya. Mereka sadar bahwa hanya dengan menghampiri, menghayati, dan mengamalkan Al-Qur'an sajalah, mereka akan mem­peroleh petunjuk. Apalagi mereka pun sadar bahwa apabila mereka mengambil jalan lain atau referensi lain selain Al-Qur'an, maka hanya perpecahan dan kesesatanlah yang akan menimpa jamaah dan persatuan akidah mereka.

Allah SWT berfirman, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan (yang lain) karena jalan- jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (al-An'am: 153).

Para sahabat yang berkumpul dalam jamaah adalah manusia Qur'ani, bahkan kehidupannya semata-mata hanyalah refleksi dari keinginan Al-Qur'an belaka. Pantaslah apabila kepada mereka digelari sebagai "Al-Qur'an berjalan" (the walking Qur'an). Menurut standar atau tolak ukur budaya jahiliah, tentu saja sikap hidup Qur'ani, seperti yang ditunjukkan jamaah para sahabat Rasul itu, dianggap sebagai suatu kehidupan yang eksklusif. Dan, tidak aneh pula apabila tuduhan palsu yang diarahkan kepada para sahabat --pada zaman jahiliah-- sebagai manusia yang membawa agama baru, yang akan merusak tatanan budaya, dan kepercayaan yang telah turun-temurun dipraktekkan oleh ajaran nenek moyangnya melalui sesembahan kaum jahiliah: Latta, Mana, dan Uzza.

Padahal, apa yang dilakukan oleh para jamaah itu bukanlah karena kebencian, tetapi karena hanya ingin meluruskan kembali, fitrah ma­nusia untuk bersatu dalam satu ikatan tauhid, yaitu hanya bertuhankan Allah semata, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku. " (al-­Anbiya':92).

Hanya karena perasaan penuh kasih, maka para sahabat tersebut ingin mengajak umat manusia untuk meluruskan keyakinannya; dan menjauhi kesesatan yang disebabkan oleh hawa nafsu (vested interest) kaum jahiliah. Memahami arti dan esensi jamaah, berarti setiap pribadi muslim terpanggil untuk selalu mendahulukan nilai persamaan, per­saudaraan, dan kekompakan. Tentu saja bahwa aspirasi seperti ini, seharusnya menjadi ciri dan cara hidup setiap pribadi muslim, yang tergabung dalam jamaah mana pun.

Di samping itu, berjamaah janganlah ditafsirkan sebagai suatu penyempalan dari tatanan harakah dakwah, karena bisa jadi yang dimaksudkan dengan jamaah itu adalah suatu bentuk gerakan yang terorganisasi untuk melangsungkan dan memberikan kontribusi amar ma'ruf nahi munkar di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteksnya yang lain, pemahaman terhadap esensi jamaah mendorong setiap pribadi muslim untuk ikut terjun secara berkelompok ke dalam suatu gerakan yang mempunyai aspirasi serta tujuan yang jelas.

Kita dilarang untuk hidup secara egois (ananiyah) dan membutakan diri dari berbagai aspek problematika umat. Dan, cara untuk masuk dalam kehidupan nyata itu adalah seruan Islam yang mengajak setiap individu untuk berjalan secara bergandengan tangan, bersaf-saf yang rapi bagai­kan suatu benteng yang kokoh untuk membendung, bahkan melawan segala paham jahiliah. Hal ini sebagaimana ucapan Umar bin Khaththab:

"Bahwa kebenaran tanpa organisasi yang rapi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi."

Memang benar bahwa kebenaran itu akhirnya pasti menang, karena pertolongan Allah, tetapi harap diingat pula bahwa apa yang dikatakan Umar r a. adalah suatu peringatan. Sesungguhnya, pertolongan Allah hanyalah diberikan kepada mereka yang memenuhi kriteria kekuatan saf atau barisan yang rapi.

Dengan kokohnya persatuan umat serta adanya kepemimpinan yang tangguh; niscaya gerakan Dajal zionistik dapat kita hadapi secara kompak. Sebaliknya, bila kita berpecah-belah maka hanya kenelangsaan yang akan ditanggung generasi demi generasi umat Islam yang telah terpuruk dalam kelompok-kelompok dan budak nafsu kaum Dajal tersebut

A.    Identitas Anggota Jamaah

Ibarat pohon yang akarnya menghunjam kuat dan daunnya rimbun mencakar langit. Demikian pula dengan jamaah, akarnya adalah tauhid, batangnya adalah persaudaraan, daunnya adalah zikir, dakwah adalah bunganya yang semerbak penuh kasih, dan akhirnya bersiaplah memetik amal prestatif yang akan memberikan rahmat bagi alam sekitarnya (rahmatan lil 'alaamin).               

Ciri atau karakter orang mukmin yang berhimpun dalam jamaah tersimpulkan dalam sepuluh mutiara akhlak orang beriman yang akan diuraikan berikut sebagai bahan renungan bagi yang ingin mengembangkan kehidupan rohaninya dari seorang muslim menjadi mukmin. Sepuluh mutiara akhlak mukmin itu di antaranya sebagai berikut:           
1. Berpikir dan bertindak sesuai dengan petunjuk dan wawasan Al-Qur'an (Quranic Oriented).

2. Melaksanakan hijrah dan jihad dengan penuh rasa tanggung jawab dan keikhlasan.

3. Tampak semangat persaudaraannya diantara sesama mukmin yang sangat kental dan penuh kasih.  

4. Sangat menghargai keputusan musyawarah, selalu bertindak amanah menjaga keluhuran budi, indah akhlaknya, dan selalu ingin memberikan uswah atau keteladanan yang Qur'ani.    

5. Sangat tabah (istiqamah) dalam menghadapi setiap cobaan dan rintangan.         

6. Tawadhu dan rendah hati. Menjauhi sikap sombong, ta'asub (membanggakan diri).

7. Selalu dilanda obsesi untuk menjadikan hidupnya penuh arti dan bermanfaat bagi lingkungannya.  

8. Isi dakwah dijadikannya sebagai salah satu panggilan jiwa, yang menunjukkan rasa tanggung-jawabnya yang besar akan kasih-sayangnya kepada sesama manusia dan sekaligus sebagai rasa cintanya kepada Risalatul Kurb.

9. Selalu ingin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.

10.   Rindu untuk menjadikan dirinya sebagai jembatan penyambung tali ukhuwah diantara sesama saudara seiman dan selalu ingin akrab dengan kaum dhu'afa.

Sepuluh mutiara kaum mukminin ini terangkum dengan sangat indah dan sempurna dalam Al-Qur'an, sehingga sangat dianjurkan selalu membaca, menghayati, dan mentafakuri makna ayat demi ayat yang terkandung di dalamnya, agar kita memperoleh nyata, pergaulan dunia dengan segala tantangannya.

B. Berwawasan Al-Qur'an (Quranic Oriented)

Anggota jamaah Rasulullah saw. bukan sekadar sekelompok manusia yang mengaku diri sebagai muslim, tetapi lebih jauh dari itu. Mereka adalah para mukminin, yaitu tipe manusia yang selalu merindu­kan agar sikap hidupnya, tarikan nafas, dan prestasi dunianya selalu sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Mereka membaca dan menerima A1-Qur'an bukan untuk penghias bahan retorika atau sekadar referensi pengetahuan dirinya, tetapi bagi para anggota jami'atul mukminin ini, Al-Qur'an dijadikannya sebagai sumber aspirasi untuk beramal secara konkret. Mereka menjadikan Al-­Qur'an sebagai benih yang memberikan energi baru yang sangat kuat, kemudian menabur bunga dakwah, lalu memetik buah prestasi yang menjadi keteladanan bagi siapa pun yang menyaksikan jamaahnya.

Mereka bukan tidak percaya dengan kekuatan kata-kata, atau meng­abaikan teori. Akan tetapi, bagi kelompok jamaah ini, kata-kata dan teori tidaklah cukup, karena puncak dari misi pengabdian seorang mukmin adalah mengajak manusia pada kalimat yang sama, yaitu menjadikan tauhid sebagai pangkal kehidupan manusia di mana pun mereka berada. Kata-kata dan teori hanyalah jembatan atau alat untuk mengantarkan ke puncak dakwah, yaitu sikap hidup atau tindakan yang dimanifestasikan dalam bentuk tindakan yang mempunyai ciri sebagai uswatun hasanah (keteladanan). Bagi mereka: "tindakan dan perbuatan itu lebih mem­bekas ketimbang hanya kata-kata (action speak louder than words; lisaanul-haali afsahu min lisaanul maqaali)."

Bertebaran ayat-ayat Al-Qur'an tentang ciri dari orang mukmin, yaitu mereka yang telah menjadikan cangkir kalbunya penuh terisi oleh kesejukkan citra Qur'ani dan rasa cinta yang mendalam terhadap Rasulullah saw. Pokoknya, Al-Qur'an merupakan sumber aspirasi dan dasar pijakan mereka untuk berpikir dan bertindak. Sehingga pantaslah kepada mereka diberikan judul Qur'anic Thinker (berpikir berdasarkan Al-Qur'an).

Seorang sahabat bertanya kepada Siti Aisyah r a., "Apakah akhlak Rasulullah itu." Siti Aisyah menjawab, "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an (khuluquhul Qur'an)." Maka ciri atau karakter yang paling dominan dari para pengikut Rasul tidak lain hanyalah meneladani Al-Qur'an. Sehingga, kalau saja ditanyakan kepada mereka, apakah yang menjadi sumber hukum dan petunjuk hidup, dengan tangkas dan antusias, mereka akan menjawab: pertama Al-Qur'an, kedua Al-Qur'an, ketiga Al-Qur'an, dan seterusnya. Sehingga, mereka ini tipikal manusia yang berpikir berdasar­kan Al-Qur'an dan bersikap dengan Sunnah Rasulullah saw. Dirinya terasa tidak berarti apabila ada satu hari luput dari "sorotan kamera" Al Qur'an. Rasanya tidak berharga apabila perbuatannya tidak mencermin­kan tindakan yang Qur'ani.

Seruan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), tidaklah melulu hanya mendendangkan atau memperlombakan bacaan Al-­Qur'an dan kemudian selesai. Bagi mereka memperlombakan esensi Al-­Qur'an dalam akhlak dan prestasi amaliah yang nyata, justru merupakan aplikasi dari seruan fastabiqul-khairat tersebut. Mereka tidak pernah mempunyai motivasi untuk mendapatkan piala atau pujian manusia hanya karena membaca Al-Qur'an, tetapi dorongan yang paling meng­gebu di hati para anggota jamaah Rasul ini adalah kerinduannya untuk menyiarkan dan mengamalkan Al-Qur'an dalam bentuk yang membumi, nyata, dan ternikmati oleh manusia. Kalupun dia takzim, itu semua dikarenakan dorongan untuk memenuhi perintah agama. Karena hal tersebut merupakan salah satu perintah Rasulullah dalam metode dan pendekatan kita terhadap Kitab Suci.

Itulah sebabnya, salah satu program keluarga anggota jamaah, adalah menanamkan kecintaan putra-putrinya untuk menggemarkan membaca Al-Qur'an, menghafalkan surat-suratnya, dan secara tertib mulai menggali, menghayati, dan mengikat keluarganya dengan se­mangat Qur'ani. Sehingga tidak jarang di kalangan keluarga tersebut, ada putra-putrinya walaupun umurnya masih sangat muda, mampu meng­hafal puluhan surat, bahkan hafal Al-Qur'an.

Sayang sekali, dewasa ini pendidikan keluarga sudah sangat ber­orientasi ke dunia Barat dan tercabut dari akar fitrah diri seorang muslim. Dunia pendidikan keluarga dan sekolah menjadi gamang serta asing dengan ajaran agamanya sendiri, karena ada semacam "rekayasa kuri­kulum" yang justru menjebak para murid untuk menjadi manusia yang tumpul terhadap agama, otaknya encer, tetapi hatinya kering. Hardware­nya bertambah canggih, tetapi sayang software-nya terkena "virus" budaya Barat yang justru tidak pernah berangkat atau diniatkan sedikit pun untuk menjayakan siar Islam.

Sebab itu, janganlah terlalu kaget apabila ada sebuah keluarga muslim yang ternyata seluruh keluarganya tidak mampu membaca Al-­Qur'an. Jangan pula heran apabila di rumah, ternyata pada rak bukunya tidak terdapat Kitab Suci Al-Qur'an. Bagi mereka bergengsi apabila rak buku yang dipajang di ruang tamu itu, penuh sesak dengan sederetan buku-buku tebal, dan mulai Encyclopedia Britanica, Americana, sampai National Geogyaphic. Jangan terlalu mengharapkan untuk melihat dinding kamar putra-putri muslim, terpampang kaligrafi atau tulisan-­tulisan tentang hadits atau nasihat, karena kamar seorang putra yang modern harus dihiasi dengan segudang penyanyi musik rock, pop, dan rap. Adakah masih tersisa secercah kebanggaan untuk menjadi seorang manusia Qur'ani?

Ada sebuah adat istiadat yang mulai pudar di kalangan kaum muslimin dewasa ini, yaitu menguji calon mantu dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'annya, sehingga bapak mertua merasa bangga mem­punyai calon menantu yang takzam, akrab, dan membaca Al-Qur'an dengan tartil sebagai jembatan menuju amaliah Qur'ani. Jangan-jangan apa yang digambarkan oleh Rasul bahwa kelak akan datang satu zaman di mana Al-Qur'an hanya tinggal bacaannya saja, walaupun pelan tapi pasti, sebenarnya sudah mulai datang dan menyelinap dalam kehidupan kita yang mengaku diri sebagai muslim.

Cobalah simak sesekali mengenai upacara-upacara keagamaan yang ternyata tidak jarang di dalamnya dibacakan ayat-ayat suci Al-­Qur'an. Akan tetapi sayangnya, para hadirinnya tidak pernah merasakan kesejukan dan terpesona dengan bacaan ayat suci tersebut, padahal salah satu tanda orang yang beriman apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka tersengkur, terharu, dan meleleh air matanya, karena jiwanya diingatkan kepada Dia yang Maha Pencipta. Hal itu sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal." (al-Anfal: 2).

Mungkinkah Al-Qur'an hanya tinggal menjadi benda pusaka antik yang hanya pantas digelar sebagai maskawin (mahar) untuk pleengkap upacara ijab kabul pernikahan. Rumah dan masjid telah menjadi sepi dari gaung sahdu bacaan Al-Qur'an. Padahal, Rasulullah sering rindu untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an yang dibaca dengan suara yang merdu.

Bahkan, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah r.a. Rasulullah saw meminta Abdullah bin Mas'ud untuk membaca Al-Qur'an untuk beliau. Rasulullah saw. bersabda, "Bacakanlah untukku!" Aku (Abdullah bin Mas'ud) bertanya, "Aku bacakan kepadamu, padahal ia diturunkan kepadamu?" Beliau bersabda, "Aku ingin sekali mendengar­kannya dari orang lain." Kemudian Aku membacakannya surat an-Nisa'
ketika sampai pada ayat 41 yaitu, "Maka bagaimanakah halnya orang kafir nanti apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-­tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)." Beliau bersabda, "Cukuplah dahulu." Aku melihat kedua air mata beliau berlinang. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

C. Perdamaian (Ishlah) Wujud Reformasi Islami:  Iman, Hijrah, dan Jihad

Bila kita mau konsekuen sampai ke lubuk hati dan menimba seluruh sunnah dan wasilah Al-Qur'an, niscaya kita akan lebih mengenal dan mempopulerkan kata ishlah, disamping kata reformasi. Dengan mempopulerkan kata ishlah di kalangan kita, diharapkan dapat lebih menumbuhkan gairah Islamiyah kita. Sebagaimana kita ketahui, kata "reformasi" mengingatkan kita terhadap budaya.serta cara metode gerakan dunia Barat yang diawali dengan kemelut di lingkungan Gereja Roma Katolik yang kemudian direformasi oleh Martin Luther dan Calvin. Sehingga, ada semacam nuansa Kristiani dalam kata reformasi tersebut. Tentu saja, kita tidak tabu dan mengharamkan kata reformasi, karena esensi dan maknanya yang mendalam telah kita tangkap dan bagian dari misi seorang muslim untuk selalu melakukan perbaikan. Akan tetapi tidakkah kita rasakan, betapa besarnya makna sebuah kata sebagai bentuk identitas umat Islam. Tidakkah kita rasakan bahwa dalam mem­populerkan sebuah "kata", umat Islam tidak berdaya mengunggulinya. Padahal, bagi kita sudah sangat jelas bahwa semangat reformasi merupakan bagian dari misi Islam itu sendiri yang selalu melakukan perbaikan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, Islam membawa misi reformasi, sebaliknya reformasi belum tentu membawa misi Islam.

Alangkah indahnya apabila kita memakai kata ishlah (perdamaian), sebuah kata yang melekat pada amal setiap muslim yang memberikan segala usaha untuk memperbaiki sesuatu, serta menjauhi segala bentuk kerusakan. Di dalam kata ishlah tersebut terkandung pula kata shalah (perbaikan) yang mempunyai esensi makna segala ikhtiar atau pilihan yang harus sesuai dengan kehendak Alah dan Rasul-Nya dan memberi­kan manfaat yang sebesar-besarnya. Kata ishlah sebagai usaha untuk melakukan usaha perbaikan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, merupakan lawan kata dari fasad (kerusakan).

Dengan memperkenalkan kata ishlah --dalam lingkup arti memper baiki kerusakan--dalam gerakan melawan kaum zionis Dajal ini, maka terkandung di dalamnya nuansa religius, etika, moral, dan tanggung jawab agar segala tindakan kita selalu sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya; memperbaiki yang rusak dan menyempurnakan yang bermanfaat.

Mengapa hal ini harus kita ke tengahkan? Tidak lain dalam rangka membersihkan hati dan pikiran, pada saat kita berupaya melakukan perbaikan. Sehingga tetap kita tetap pada metode (manhaj) Nabi dan jalan lurus-Nya (sirathal-mustaqim). Kekhawatiran ini tidaklah ber­lebihan apabila kita cermati konspirasi global kaum zionis, termasuk IMF yang selalu membawa kata "reformasi" sebagai persyaratan agar dana pinjaman dikucurkannya. Lalu, apa yang direformasi? Apakah di balik ini ada semacam pesan terselubung untuk menyingkirkan umat Islam dari panggung kehidupan masyarakat? Bukankah salah satu moto mereka "era reformasi baru" (new age reforms) sebuah misi untuk merombak dunia secara total, yang belum tentu membawa pesan-pesan Islami.

Memang benar, umat Islam tidak perlu terpaku dengan istilah tersebut. Karena dunia sudah menjadi global. Lagi pula bagi kaum intelektual dapat saja menjawab, "Apalah arti sebuah nama?" Padahal, bagi kaum muslim, nama merupakan sebuah identitas yang merupakan bagian dari Sunnah. Sehingga sejak dini, Rasulullah sangat menganjurkan agar kita memberikan nama-nama yang indah untuk putra-putri kita. Hal itu agar mereka lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. Itulah sebabnya, kita bisa menjawab kaum intelektual itu dengan jawaban, "Ada berbagai makna yang baik pada sebuah nama, teman!"

Nama dan istilah bukan saja memberikan identitas dan makna, tetapi juga merupakan ukuran dan jiwa (muru'ah) dakwah. Ketika Islam terpinggirkan, berapa banyak kata dan istilah yang memakai bahasa sansekerta; bahasa fosil yang tidak memberikan getaran identitas. Padahal, ketika darah para syuhada yang merebut kemerdekaan dari kaum kufur, deretan nuansa Islam menghiasi kehidupan bernegara. Setidaknya, ada tujuh kata yang masuk dalam ideologi negara seperti: adil, adab, rakyat, hikmah, musyawarah, wakil, dan daulat.

Dengan demikian, seharusnya kita merasakan dengan penuh ke­nikmatan bahwa tiga kata ishlah, hijrah, dan jihad adalah mutiara yang paling indah, karena di dalamnya berisi begitu banyak hikmah serta roh perjuangan yang mampu mengantarkan manusia kepada kemuliaan dan kemenangan. Tiga kata yang tidak bisa terpisahkan, karena di dalam makna ishlah, ada semacam gerakan untuk selalu berbuat perbaikan, yang akan melahirkan "hijrah" dari yang batil menuju yang hak, dari yang gelap menuju yang terang dengan cara berjihad, yaitu mengerahkan seluruh potensi dan sumber daya untuk mewujudkan ishlah tersebut. Bahkan, hijrah kita tidaklah sekadar perubahan fisik, tetapi juga trans­formasi mental. Bahkan, kalau kita mau sedikit jeli menghayati makna hijrah, ternyata sejak Al-Qur'an diturunkan, sudah terdapat padanan kata hijrah pada surat al-Mudatstsir ayat 5, "Dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (war-rujza fahjur)."

Maka, salah satu ciri orang beriman adalah mereka yang melakukan hijrah mental, sebagaimana berulang-kali Al-Qur'an mengetuk kalbu kesadaran kaum beriman tentang makna dan keluhuran upaya untuk berhijrah ini. Hal ini sebagaimana firman-Nya:

"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan." (at Taubah: 20).

Tiga kata yang dirangkai secara berututan pada surat at-Taubah:20 tersebut, yaitu iman, hijrah, dan jihad; tentunya mempunyai makna yang sangat mendalam. Tidak mungkin salah satu dari tiga rangkaian kata itu hilang, demikian pula tidak mungkin yang satu mendahului yang lain, karena semuanya sudah diatur dan disusun oleh Sang Maha Pencipta.

Orang tidak mungkin memperoleh nilai hijrah apabila upayanya itu tidak didasarkan pada iman. Demikian pula, orang yang mengaku berjihad, ia tidak akan mendapatkan nilai di sisi Allah, selama perjuangannya tidak didasarkan pada iman. Dan tidak mungkinlah orang disebut beriman, apabila keyakinannya tersebut tidak didasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Hijrah berarti membuat garis tegas antara yang hak dan batil, membuat batas pemisah ( furqan) antara mukmin dan kafir. Bagaikan racun dan madu, tidak mungkin dua-duanya tercampur dalam satu gelas jamaah.

Maka dengan iman dan sikap yang istiqamah, jamaah mukmin berani mengambil risiko, meninggalkan segala kenikmatan, gelar, dan sanjungan masyarakat jahiliah untuk menerima penderitaan dalam menapaki jalan yang penuh dengan ironi. Akan tetapi, karena yakin akan pertolongan kepada Allah dan semangat yang istiqamah tersebut, menyebabkan dalam jiwa mereka tidak pernah mengenal kata me­nyerah, apalagi bersekutu dengan kejahiliahan. Sesungguhnya, mereka yang telah berkata bahwa Allah adalah Tuhan kami, kemudian mereka beristiqamah, tidak ada rasa khawatir pada jiwa mereka, juga tidak merasa gentar. Mereka adalah calon penghuni surga yang kekal sebagai balasan atas jerih payahnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an pada surat al-Hujurat ayat 14-15.

Kualitas imanlah yang telah menjadikan mereka tidak lagi mem­pedulikan untung-rugi duniawi, apabila panggilan Allah menyeru nuraninya. Karena bagi mereka kebahagiaan yang hakiki itu adalah tercapainya jiwa yang bersih sebagai jaminan sukses di akhirat. Semangat seperti ini menjadikan generasi pelopor awal (assabiquunal awalun) menjadi umat yang unik yaitu yang tidak ada bandingannya sampai kapan pun. Lebih baik terisolasi, terkapar dalam derita daripada menggadaikan keyakinan. Apalah artinya kemuliaan dunia apabila akan disambut dengan pen­deritaan akhirat, sebagaimana firman Allah SWT:

"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri'...." (Saba': 46)

Iman, hijrah, dan jihad merupakan tiga kata yang harus menghunjam dan mengakar di lubuk hati setiap mukmin, karena hanya dengan tiga karakter inilah pertolongan Allah akan datang mengangkat dan memuliakan setiap orang yang telah mengikrarkan syahadatnya dengan konse­kuen. Tipu daya orang kafir yang dikemas dengan sangat cantik, apakah dalam bentuk kemajuan teknologi, kehidupan mewah yang konsumtif budaya bebas tanpa moral, semuanya tidak akan menggoyahkan muslim yang memiliki "tiga bintang" ciri orang mukmin tersebut. Allah telah berfirman:

"Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan .pertolongan para mukmin." (al-Anfal: 62)

Apabila kualitas iman berbinar penuh cahaya langit, setiap anggota jamaah mukmin tidak pernah merasa khawatir menghadapi isolasi atau tipuan apa pun. Ayat itu menegaskan kembali bahwa yang akan menolong mereka hanyalah Allah dan sesama mukmin, sedangkan mereka yang nonmuslim tidak pernah akan peduli dengan ciri dan cara hidup demikian. Hijrah pada zaman sesudah Rasul, seperti zaman sekarang ini, tidak lain adalah melakukan suatu "renovasi diri" untuk memisahkan dan hanya berpihak kepada Allah dan jamaah orang-orang mukmin.

Dalam menghadapi konspirasi Dajal zionis yang semakin meng­global ini, sudah merupakan aksioma bahwa Allah tidak pernah akan memberikan pertolongan kepada umat Islam, selama umat tidak berjihad, yaitu bersungguh-sungguh untuk meningkatkan diri sebagai seorang mukmin. Dan Allah tidak akan mengazab musuh-musuh Islam, selama ada sebagian umat Islam berada di tengah-tengah cara budaya kaum Dajal yang saling mendukung dengan orang-orang kafir secara campur baur. Hal ini dengan sangat tegas dinyatakan Allah dalam firman­Nya:

"Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka (kaum kafir), sedangkan kamu masih ada diantara mereka...." (al-Anfal: 33).

Tak ayal lagi, apabila kita ingin menjadi subjek dan memiliki harga diri, melepaskan segala jerat budaya Dajal, maka setiap mukmin harus berhimpun dalam suatu jamaah-sebagaimana metode atau Sunnah Rasul yang dimulai dari rumah salah seorang sahabat beliau yang kemudian dikenal sebagai Darul Arqam. Karena hanya orang mukmin yang berjamaah yang mampu memiliki kentalnya iman, berpadunya cita, dan kokohnya persaudaraan.

Berhimpunnya kaum mukmin akan membuahkan suatu kekuatan iman yang mahadahsyat. Sebaliknya, apabila kaum mukmin tercerai-­berai atau terkotak-kotak, niscaya tanpa kita sadari kekuatan yang ditawarkan Allah telah dibuang dengan sangat mubazir. Bukankah Rasul bersabda bahwa hanya kambing yang keluar dari kelompoknya-lah yang akan diterkam srigala? Maka setiap pribadi muslim yang akan melakukan hijrah menuju ke pemukiman kaum mukminin itu, haruslah mulai dari sekarang. Oleh karena itu, pandai-pandai memilih teman yang senasib sepenanggungan, dan janganlah memilih teman lain kecuali Allah, Rasulullah, dan orang mukmin, sebagaimana termaktub pada surat at-Taubah ayat 16.

Kemampuan dan kesungguhan setiap muslim yang dinyatakan dalam kerja keras serta menyerahkan diri kepada-Nya agar dapat terpisah dari kebatilan menuju ke hak. Itulah yang disebut dengan jihad. Orang yang memiliki semangat jihad akan lebih waspada meniti buih kehidupan, dirinya sangat berkeinginan untuk selalu menjaga diri dengan penuh ketabahan. Itulah sebabnya, ketika seorang mujahid tidak terlalu banyak bersenda-gurau atau tertawa terbahak bahak, karena hal seperti ini bisa melambangkan kelalaian dan gampang terperangkap pada nafsu duniawi. Mukmin itu sesungguhnya lebih banyak menangis daripada ketimbang tertawa, sebagaimana termaktub pada surat al Anfal ayat 22.

Menangis merupakan lambang keprihatinan, sebagai salah satu ciri orang mukmin yang jiwanya sangat sensitif melihat penderitaan dan kesesatan manusia. Sehingga di sela-sela wiridnya selalu tersisipkan doa memohon pertolongan Allah bagi para mukmin yang dhaif (lemah) agar mereka diangkat dan dicerahkan jiwanya menjadi satu umat yang kompak dan kuat (ummatan wahidah).

Para anggota jamaah sadar bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah (taqarub), bertakwa, dan terus berikhtiar kepada-Nya, maka pertolongan dari Allah pasti datang yang berupa furqan, yaitu kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan batil, antara tauhid dan syirik, antara Al-Qur'an dan thagut seperti termaktub pada surat al-Anfal ayat 29. Hijrah dan jihad melahirkan rasa aman yang tidak terhingga dalam batin mereka, dan keikhlasan serta keridhaan yang tiada tara untuk menerima Allah sebagai cahaya benderang dari puncak harapan. Hidup­nya memang hanyalah mencari keridhaan Allah semata, sebagaimana termaktub dalam surat at-Taubah ayat 100 dan al-Fath ayat 29.

Dengan hijrah dan jihad, seakan-akan dirinya telah tergadai hanya kepada hukum dan peraturan Allah. Mereka para anggota jamaah itu sangat merindukan perjumpaan abadi dengan Sang Kekasihnya dan mengharap­kan agar Allah membeli dirinya dengan surga dan pengampunan-Nya, ­seperti termaktub pada surat at-Taubah: 111. Dengan kata lain, seruan yang kita dengar dari sang muadzin yang menyeru, "Marilah meraih kemenangan," (hayya alal-falah), hanyalah akan menjadi seruan kosong, apabila kita tidak menyambutnya dengan hijrah dan jihad yang disulut oleh tali iman sebagai lambang kecintaan yang mendalam kepada Allah.

Orang mukmin yang telah berhijrah dan berpihak kepada Allah, apabila waktu shalat telah tiba, maka ia akan segera meninggalkan ke­sibukan dunia dan meraih sajadahnya untuk menyembah-Nya, karena Dia Sang Maha-segalanya telah menanti. Bahkan, dalam hadits disebutkan bahwa hal itu tidak sekadar hijrah, apabila sang mukmin secara konsekuen mampu menjadikan perilakunya ini sebagai suatu kebiasaan, maka shalat itu menjadi "mikraj"-nya orang mukmin. Orang mukmin yang telah berhijrah segera berpihak kepada Allah, ketika bisikan setan menggebu menggoda nafsu untuk memalingkan perhatiannya dari dzikrullah, maka seorang pemuda yang gagah adalah seorang yang mampu berhijrah dan berjihad; ketika dia mampu menolak rayuan seorang wanita, bagaimanapun cantiknya wanita itu, karena ia takut kepada Allah. Adalah sebagai hijrah, apabila kita mengubah mentalitas memikirkan diri sendiri (ananiyah) dengan mencintai jamaah, meng­ubah sikap cinta pada golongan, ras, atau keturunan menjadi kecintaan pada jama'ah, yaitu persaudaraan kaum mukmin.

D. Semangat Persaudaraan

Ketika gerakan dabbah Dajal yang muncul dari bawah bumi me­ngibarkan panji-panji fitnah di seluruh dunia Islam, seharusnya kita segera merapatkan diri dan melawannya dengan panji-panji persaudaraan yang nyata. Mereka akan segera melangkahkan derap "sepatu laars"-nya atas nama "polisi internasional" (Amerika) untuk memporak-porandakan umat beragama dengan cara mengadu-domba satu dengan lainnya. Mereka menjadi provokator yang paiing profesional agar umat Islam dan umat beragama lain bertarung, sehingga lelah dan tidak lagi mempunyai suatu kekutaan untuk menghadapi tipu daya kaum Dajal zionis tersebut.

Betapa mungkin kita akan memenangkan sebuah pertempuran, bila diantara kita sendiri saling memfitnah, bahkan yang paling gigih memfitnah sesama seiman dan seagama. Alangkah pedihnya jiwa, seandainya ada seorang pemimpin dengan penuh semangat menuduh sesama saudaranya. Pemimpin yang menuduh sesamanya yang nyata-nyata telah bersyahadat; yang telah pula menunjukkan kecenderungan­nya kepada kebenaran (al-hanif), dan telah menunjukkan amal-amalnya untuk Islam, difitnah dan dihujat sebagai orang yang seagama, tetapi tidak seiman. Bila memang ada peristiwa seperti itu, maka "bahasa" orang yang mengaku pemimpin itu tidak lain adalah "bahasa kaum zionis" yang memutar-mutarkan lidahnya bagaikan para Ahli Kitab yang menyisipkan kalimat kebohongan dan diakuinya datang dari Allah.

Pemimpin itu pun dengan tidak merasa berdosa sedikit pun me­nepuk dada sambil merangkul kaum kafir dan menginjak martabat sesama saudaranya seagama. Akhlak karimahnya telah tercerabut dari jiwa dan mereka menggantinya dengan akhlak dabbah. Mereka merasa sangat bahagia bila dapat menertawakan penderitaan orang tertindas yang merintihkan doa, seraya bercucuran air mata. Di manakah lagi kata maaf? Di manakah keluhuran budi umat yang telah dicontohkan Rasulullah saw. ketika memperlakuan musuh-musuhnya pada saat penaklukan Mekah?

Padahal, tidak ada yang paling indah dalam kehidupan manusia kecuali mempunyai sahabat seagama dan seiman. Betapa kentalnya nilai persaudaraan yang disambung oleh tali iman telah dibuktikan oleh para anggota jamaah Rasulullah, yang sekaligus sebagai bingkai kaca untuk bercermin dan menata kehidupan masyarakat Islam yang Qur'ani. Persaudaraan iman inilah yang menyatukan rasa, karsa, dan cinta dalam jamaah, yang mampu membongkar segala kebanggaan golongan (ta'asub), keturunan, ras, dan kebanggaan kelompok lainnya.

Akan tetapi, cobalah raba hati dan keadaan kita sekarang ini, betapa umat Islam yang terkena penyakit "mencintai dunia dan takut akhirat" (wahan), tercabik-cabik menjadi santapan orang-orang kafir dikarenakan hilangnya nilai persaudaraan diantara sesama muslim sendiri. Bila ukhuwah Islamiyah telah redup cahayanya, apakah mungkin menyambung tali ukhuwah bashariyah dan wathaniyah. Pelita hikmah tentang seruan Allah, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara...." (al-­Hujurat:10) telah lenyap ditelan gemuruhnya pidato dengan gaya retorika yang hanya sebatas mencari pendukung golongannya, padahal janji-janji yang dikemas dengan bahasa retorika itu hanyalah manis dalam pernyataan, tetapi pahit dalam kenyataan. Jelaga hitam di hati kita, bertambah tebal dengan masuknya paham dan budaya kaum Dajal yang secara halus menyelusup bagaikan virus yang merusak cara berpikir umat, sehingga seluruh sikap dan keputusannya sudah sangat jauh dengan Al-Qur'an.

Prinsip demokrasi yang diagungkan dunia Barat, ternyata diterima di kalangan umat Islam dengan sangat mentah, sehingga telah me­nyebabkan tumbuhnya berbagai kepentingan (vested interest) berbagai pengkotakan, perbedaan paham, dan perbedaan cita yang dikonfrontasi­kan secara tajam, bagaikan lawan dengan rnusuh dalam arti yang se­benarnya. Organisasi atau partai yang semula secara ideal dianggap sebagai alat untuk menampung aspirasi program dan rencana pem­bangunan umat, justru menjadi "alat pembunuh" persaudaraan. Hanya karena berbeda partai atau organisasi, kadang-kadang kita menjadi berpikir hitam-putih (black and white). Sikap kebersamaan telah lenyap digasak kebanggaan kelompok dan yang mencuat secara dominan adalah sikap keegoisannya (keindividuannya) . Bahkan, bisa jadi ke­lihatannya mereka bersatu, padahal hatinya tidak pernah jumpa dan tidak ada kecocokan ide; kelihatannya berjamaah, padahal hatinya telah lama berpisah.

Kejayaan umat akan tampil kembali di panggung dunia, apabila kita mau melebur diri dalam satu jamaah yang di dalamnya berkumpul kaum mukmin yang maju menundukkan dunia secara bersaf, dan berke­pribadian luhur sesuai dengan Al-Qur an, yaitu barisan yang tangguh bagaikan benteng yang kokoh. Masing-masing muslim, saat ini, telah sama-sama bekerja untuk berbagai keperluan terrmasuk sama-sama bekerja dalam siar dakwah. Akan tetapi disayangkan; hal itu belum mewujudkan suatu saling kerja sama yang total. Padahal, inti menuju bekerja sama, hanyalah dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber berpijak dan tindakan, serta Sunnah Rasul sebagai rujukan sikap hidup kita. Semangat merujuk dan melaksanakan dua sumber hukum utama Islam tersebut tidak boleh pudar, betapa pun hebatnya otak kita. Karena apalah artinya isi otak kita yang hanya beberapa sentimeter kubik, dibandingkan dengan kebesaran alam semesta hasil ciptaan Sang Mahaperkasa itu.

Kebersamaan sebagai salah satu buah persaudaraan itu mutlak berada di lubuk hati masing-masing. Setiap anggota jamaah merasa larut dan merasa satu wujud, karena nilai iman telah melebur dan sekaligus meruntuhkan segala perbedaan artifisial (palsu). Mereka yang men­dambakan bunga dan buah persaudaraan, serta mau duduk sebagai anggota jamaah, maka tidak ada satu pun sekat atau tabir yang akan menyebabkan tumbuhnya prasangka serta sikap egois (ananiyah). Hati dan sikap mereka satu dan transparan, sehingga tidak ada satu kebenaran pun yang dia sembunyikan di hadapan saudaranya.

Sikap seperti ini menyebabkan para anggota jamaah merasa aman dan damai. Ibarat ikan dalam air, mereka tidak mau lagi keluar dari kolam jamaah. Cinta kasih, kelembutan, sopan santun, serta rasa tanggung jawab diantara sesama anggota muslim, merupakan ciri khas yang paling menonjol dalam pribadi para anggota jamaah. Demikian pula, dalam cara pernyataan keyakinan yang mencakup iman, syariat, dan prinsip-prinsip beragama dan berkehidupan, dinyatakannya dengan sangat banyak sekali. Keterangan maupun berbagai nash Islam ternyata memberikan satu pesan agar dalam menegakkan siar Islam, selalu menyeru kepada satu sikap iktidal (dipertengahan). Hal itu karena akan melarang sikap-­sikap yang membuat rumit perilaku serta penalaran alami, seperti: berlebih-lebihan (ghuluw), merasa diri paling pintar (tanatthu), dan mempersulit atau membuat bertambah berat (tasydid).

Sebenarnya, banyak sekali ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi yang menyatakan agar dalam beragama, kita berada di pertengahan. Hal itu banyak disampaikan oleh Rasulullah, misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan Musnad-nya, an-Nasa'i dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya. Dari Abdullah bin Abbas r a. bahwa Nabi saw bersabda:

"Hindarkanlah daripadamu sikap melampaui batas dalam agama (ghuluw), karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya."

Tentang peringatan agar suatu kaum, bahkan Ahli Kitab sekalipun ­untuk bersikap tidak melampaui batas dalam agama, telah dinyatakan di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Oleh dua sumber utama umat ter­sebut telah diberikan contoh beribadah yang ringan. Misalnya saja, dalam pelaksanaan rukun haji, yaitu dalam hal memilih batu untuk melempar (jumrah), hendaknya mengambil batu sebesar biji kacang, dan diperintahkannya agar tidak melampaui batas (kualitas lemparannya).

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, dari Abdullah bin Mas'ud. Ia berkata bahwa Rasullullah saw. bersabda "Binasalah kaum Mutanatthi'un" dan beliau mengulanginya tiga kali. Imam Nawawi berkata, "Al-Mutanatthi'un ialah orang-orang yang merasa dirinya benar dan merasa paling pintar, serta merasa paling menguasai ketika membahas sebuah perkara. Ucapan mereka penuh bara angkara yang membakar, sehingga kadang-kadang keluar dari sifatnya seorang panutan yang seharusnya tetap berpegang pada tata nilai qaulan ma'rufan (kata-kata yang indah menyejukkan). Nabi pernah menegur Mu'adz dengan keras karena Mu'adz memanjangkan bacaannya ketika shalat berjamaah, sehingga banyak orang yang mengadu kepada Nabi. Ke­mudian Nabi bersabda, "Apakah engkau ingin menimbulkan fitnah, hai Mu'adz?" Beliau mengulanginya tiga kali. Dalam peristiwa yang sama beliau bersabda pula:

"Sesungguhnya diantara kalian ada orang-orang yang menimbulkan antipati. Barangsiapa mengimami shalat bersama orang banyak (jamaah), maka ringankanlah (bacaannya) karena di belakangnya ada orang tua, orang lemah, dan orang yang mempunyai keperluan." (HR Bukhari).

Bila kita membuat analogi antara seorang imam shalat dan imam pada sebuah masyarakat, tentunya prinsip-prinsip imamah itu harus melekat pada para pemimpin Islam. Dia rasakan denyutan kepedihan umat. Dia ringankan beban hidupnya. Dia sejukkan pula kegelisahan jiwanya, dan dia berikan pelita keteduhan kepada mereka yang berjalan menatap hari esok dengan ketidakpastian.

Ketika Nabi akan melepas Mu'adz dan Abu Musa ke Yaman, beliau bersabda, "Permudahlah olehmu berdua dan jangan mempersulit. Gembirakan­lah dan jangan menyusahkan. Bersepakatlah dan jangan berselisih. " (HR Bukhari dan Muslim)

Demikian pula dengan firman Allah, "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...." (al-Baqarah: 185).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya agama ini adalah kemudahan. Dan tidaklah seseorang mempersulit agama, melainkan ia pasti akan dikalahkan. Maka dari itu bersahajalah, dekatlah, dan gembiralah." (HR Bukhari dan Nasa'i).

Maka dalam tatanan pergaulan dengan siapa pun, hendaknya selalu menampakkan wajah dakwah. Sebuah refleksi tata etika kesopanan Islami yang sangat tinggi nilai luhurnya. Menyejukkan dan senantiasa memberikan kesan yang mendalam bagi pihak lain karena keteladanan akhlaknya.

E. Tiang Persaudaraan

Sebagaimana telah ditetapkan oleh para anggota Ikhwanul Mus­limin yang dipelopori oleh Hasan al-Banna --semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya-- prinsip persaudaraan itu dilandaskan pada empat tiang yang harus dibina secara kokoh, yaitu ta'aruf  (saling mengenal), tafahum (saling memahami), ta'awun (saling menolong), dan takaaful (saling bertanggung jawab). Itulah empat tiang yang ditegakkan di atas landasan akidah kuat yang merupakan ciri khas dari mereka, yaitu para anggota jamaah di mana pun mereka berada, seperti yang dicontohkan oleh gerakan ikhwan.

l. Ta'aruf  (Saling Mengenal)

Bagaimana mungkin terjadi wujud persaudaraan apabila hati penuh dendam amarah. Apakah kita telah berubah haluan sehingga menjadikan hawa nafsu menjadi Tuhan, dan tidak ada lagi pintu hati yang terbuka untuk mengulurkan tangan? Bagaimana mungkin kita membangun tali persatuan apabila tali silaturrahmi telah putus atau bahkan menumpuk di "gudang" karena tidak pernah direntangkan sama sekali?

Padahal, kita mengenal peribahasa: "tak kenal maka tak sayang". Begitu juga dalam hal berjamaah, ta'aruf ini merupakan tiang pertama yang harus ditegakkan dalam menjalin tali persaudaraan. Dengan fre­kuensi dan intensitas yang tinggi, setiap anggota jamaah wajib ber-ta'aruf sehingga dengan cara seperti ini, akan timbullah tiga rasa yang merasuk setiap relung dada anggota jamaah yaitu sebagai berikut:

Timbulnya rasa persaudaraan yang kokoh.
Berseminya rasa kasih sayang yang mendalam.
Berbuahnya rasa tanggung jawab yang besar.

Untuk membuahkan rasa persaudaraan tersebut, setiap anggota hendaknya memiliki jiwa besar untuk siap menerima dan memberikan bantuan dan pertolongan kepada sesama saudaranya. Menerima kritikan dan memberi teguran dengan kata-kata yang penuh kebijakan adalah warna anggota jamaah yang rindu persaudaraan muslim tersebut. Hendaknya, jiwa besar ini mampu mendorong setiap anggota untuk berpikir positif (khusnudzan), dengan cara sesama saudaranya saling menasihati. Kalau perlu memberikan kritikan kepada sesama saudaranya dengan landasan semangat seorang mutawadhi (rendah hati). Kritikan yang diarahkan kepada dirinya, akan dia terima atau dianggap sebagai "pantulan cinta" dari sesama saudaranya yang merasa takut apabila dirinya terjerumus dalam kezaliman.

Bagi sesama anggota jamaah, kritikan dianggapnya sebagai cermin sikap diri, yang sekaligus merupakan dampak yang memberikan informasi atas segala bentuk tingkah pola dan wajah diri di hadapan orang lain. Bagaikan orang yang bersolek di depan cermin, maka demikianlah pantulan cermin itu sebagai kritik diri. Seandainya, ada kotoran pada wajah, tentu kita berterima-kasih kepada cermin, karena dengan infor­masi yang dipantulkannya kita menjadi tahu di mana letak kotoran tersebut menempel. Alangkah lucunya, apabila kita marah dan memecah­kannya, hanya karena wajah kita tampak kotor di depan cermin tersebut

Walau begitu hendaknya kita waspada terhadap kritikan, sebab bisa jadi memang cermin yang kita hadapi itu, adalah cermin yang kurang memiliki pantulan yang baik. Cermin yang tidak objektif, yang tidak memantulkan wajah kita yang sebenarnya. Orang dengan niat dan itikad tertentu mungkin saja memberikan informasi yang baik, padahal ada udang di balik batu. Maka dengan sikap yang positif, kita harus tetap waspada, dengan cara melakukan pemeriksaan ulang (rechecking) terhadap informasi yang diterima. Hal itu sebagaimana firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (al-Hujurat: 6).

Dengan ayat ini dimaksudkan agar setiap pribadi muslim tidak cepat menjatuhkan vonis, berprasangkaa buruk apabila menerima sesuatu berita yang menyangkut sesama saudaranya anggota jamaah. Dengan mengenal saudaranya secara mendalam, baik cara berpikirnya, kesulitan­nya, kelemahan, dan kelebihannya maka kita tidak akan tergesa-gesa bersikap reaktif terhadap sesuatu berita yang dapat merugikan sahabat dan saudara kita.

Sesungguhnya, yang menghancurkan umat itu adalah wabah buruk sangka. Kurang ta'aruf dan silaturrahmi diantara kaum muslimin, se­hingga menyebabkan setiap pribadi mengambil keputusan atau membuat asumsi menurut prasangkanya sendiri. Jika ada seorang teman yang menonjol, biasanya berseliweran tanggapan terhadapnya. Seorang muslim yang lemah, dengan mudah menerima informasi dari pihak lain yang tidak jelas kebenarannya, kemudian dengan sangat berapi-api membuat analisis subjektif dan terus menjatuhkan vonis melampui batas hukum. Padahal, seharusnya ia tidak langsung menjatuhkan vonis bersalah, sebelum mengetahui kebenaran fakta kesalahannya.

Al-Qur'an pun mengajarkan sikap kritis dan melarang hanya mem­perturutkan hawa nafsu untuk mengikuti sesuatu tanpa ilmu atau data terlebih dahulu --sebagaimana termaktub pada surat al-Isra':36. Vonis terhadap suatu berita yang belum diperiksa kebenaran faktanya, adalah suatu fitnah. Dengan fitnah, seseorang dihadapkan pada musuh yang tidak berwujud. Dengan fitnah itu pula, seseorang akan tersingkir dari dunianya, dia akan sangat menderita lahir dan batin. Oleh karena itu, kita menyadari betapa besarnya dampak dari suatu fitnah, maka janganlah terlalu cepat mencap negatif terhadap sesama saudara kita, sebelum berjumpa atau mengetahui duduk perkaranya.

Sesungguhnya, dalam hal inilah, kebanyakan manusia mendapat­kan dirinya sangat lemah, karena memang setan sangat berkepentingan untuk menumbuhkan perpecahan di kalangan saudara sesama muslim tersebut. Kendati sudah dilakukan pemeriksaan terhadap kebenaran berita yang ada, dan ternyata saudara kita memang bersalah, maka untuk menyelamatkan saudaranya dari jurang kehancuran, di dalam dadanya terkandung rasa cinta yang menutupi jelaga kebencian yang membara dalam nafsu dirinya. Tundukkan kepala, ketika menerima berita buruk yang menimpa saudara kita. Kemudian berangkatlah menemuinya untuk menanyakan kebenaran berita tersebut, dan jika ada sesuatu keburukan maka cegahlah dengan perasaan penuh kasih sayang.

Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah saw.,  "Orang muslim dengan muslim lainnya itu bersaudara. Ia tidak men­zaliminya dan tidak saling membiarkan." (al-Hadits).

Inilah ikatan yang kuat diantara sesama muslim. Seorang muslim sejati meyakini bahwa dirinya belum pantas tergolong orang mukmin apabila dia tidak mencintai sesama saudaranya, sebagaimana dia men­cintai dirinya sendiri. Seorang muslim tidak akan melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain, karena dia sendiri tidak mau diperlakukan dengan perbuatan seperti itu. Agama Islam bukanlah "agama museum" yang hanya sedap dalam pandangan, hanya digemari oleh para kolektor barang antik yang termenung dalam kenangan penuh nostalgia. Islam adalah agama amaliah yang mengalir hidup untuk menghidupkan.

Tanamkanlah pada diri kita bahwa Islam ini akan jaya, bila setiap muslim sudah mempunyai niat, tindakan, dan wawasan bahwa jamaah itu adalah penting sebagai tali pengikat untuk berdirinya daulat Islamiyah. Dengan menanamkan pentingnya jamaah maka setiap muslim akan mampu mencurahkan kasih bagi alam semesta, sesuai dengan karakter setiap muslim yang harus tampil membawakan panji rahmatan lil­alamin. Sebenarnya, eksistensi manusia itu hanya berharga ketika dia beda dalam kebersamaan. Sebab itu, tidak mungkin seorang muslim menutup sebelah mata terhadap orang lain (nonmuslim), sebab bagai­manapun juga orang lain tersebut telah membawa arti bagi eksistensi dirinya tersebut.

Cobalah renungkanlah, mungkinkah kita bisa menikmati sepiring nasi, apabila tidak ada seorang petani pun yang menanam padi? Mungkinkah seorang pemimpin menepuk dada, apabila tidak ada pengikut yang mendukungnya? Pantaskah seorang bangga dengan menyandang atributnya sebagai hartawan, apabila tidak ada orang miskin? Itulah tiang ta'aruf dalam membina persaudaraan Islam. Mereka sangat mendalam perhatiannya pada sesama saudaranya, sebagaimana kepada dirinya sendiri.

2. Tafahum  (Saling Memahami)

Tiang persaudaraan yang kedua adalah tafahum yang artinya saling memahami atau ingin mengerti lebih mendalam. Tafahum berarti pula usaha setiap muslim untuk dapat menggali informasi sebanyak mungkin. Yaitu, menggali segala hal yang berkaitan dengan "cara berpikir" dan "lingkup pengalamannya" dari sesama saudara sejamaah.

Masing-masing anggota akan saling menyesuaikan dirinya dengan kedua faktor tersebut, sehingga timbulah apa yang disebut dengan kerja sama yang harmonis: kesamaan wawasan, tujuan, dan tindakan. Harus dipahami bahwa keutuhan mereka itu sudah merupakan satu semen perekat yang membaur dan sulit untuk dipisahkan, karena terjadi suatu simbiosis-mutualis (kerja sama yang harmonis) yang sangat masif (utuh). Komunikasi yang harmonis, silaturahmi yang ikhlas dalam frekuensi yang intens, merupakan cara kita menjalin hubungan persaudaraan. Dalam hal ini, perlu disimak ucapan dari Ali bin Abi Thalib r a., "Setiap manusia memandang manusia yang lainnya berdasarkan tabiatnya."

Juga sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Kami diperintahkan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akalnya masing-masing." (al-Hadits).

Hadits tersebut memberikan keyakinan kepada diri kita bahwa setiap muslim harus dapat menyampaikan idenya sesuai dengan kadar akalnya, tabiat, serta pengalaman sesama saudaranya. Dengan pendekatan ini, diharapkan setiap ucapan tidak akan menimbulkan kesalah-pahaman diantara sesama saudara sejamaah. Untuk belajar memahami orang lain, hendaknya kita mampu mengidentifikasikan diri kita, sebagaimana karakter orang lain. Kita harus memiliki gambar khayalan tentang saudara kita yang kita sebut empati (memahami seseorang, ed.). Tafahum dalam persaudaraan merupakan tiang yang sangat penting agar dapat menyelami hakikat persaudaraan dengan cinta dan hikmah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...." (an-Nahl: 125).

Sesama muslim juga saling menasihati dalam kebenaran dan ke­sabaran, serta saling bertukar pikiran (mudzakarah) diantara sesama muslim. Hal itu merupakan dasar pokok terwujudnya persaudaraan Islamiyah. Dengan bertambah intensifnya komunikasi, bertambah seringnya bersilaturrahmi, dan bertambah luasnya saling tukar pikiran diantara sesama muslim, maka niscaya akan datang suatu saat di mana kasih sayang itu akan tumbuh dengan semarak dalam jamaah muslimin. Juga kita tidak perlu harus tergesa-gesa untuk segera menerima paham orang lain.

Hendaknya disadari bahwa di dunia ini tidak mungkin mengharap­kan semuanya serba seragam dan serba memuaskan. Sebab, itu adalah salah satu sikap kita untuk mencapai tafahum dan mencari titik per­samaan. Dari titik inilah, kita mulai berbicara dan mengembangkannya. Kemudian titik persamaan itu bertambah melebar, sehingga perbedaan yang secara kualitatif tidak bersifat hakiki, dapat kita abaikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, kita akan banyak berkomunikasi berdasarkan sifat-sifatnya yang sama sebagai nilai pertama dari awal jalinan silaturahmi. Kita hendaknya bersabar dan konsisten untuk menjadikan perbedaan itu tergeser oleh berbagai persamaan dalam segala hal, baik itu wawasan, sikap, dan tindakan. Dengan bertambah melebarnya persamaan dan menyempitnya perbedaan, maka jadilah kita kelak bagaikan satu mata uang yang berhimpit, serta sempurna bagaikan satu tubuh yang menyatu.

Selanjutnya, hendaklah kita dapat berpikir realistis dan terbuka, serta tidak cepat menyerah apabila berhadapan dengan orang yang berbeda pendapat. Karena dengan kesabaran dan sikap yang istiqamah, tidaklah ada sesuatu yang tidak mungkin untuk ditundukkan. Bagaikan air yang menetes secara perlahan dan kontinu, ternyata mampu mem­berikan bekas mendalam, yaitu sebuah lubang pada batu cadas. Me­mahami seseorang, berarti kita masuk ke dalam diri orang tersebut. Kita tidak dapat dengan cepat mengambil kesimpulan tentang baik dan buruk seseorang. Kita harus mengenal dengan sangat kental dan terjun ke dalam hati sanubarinya. Memang inilah beratnya. Kadang-kadang asumsi-asumsi subjektif sering menyelusup ke dalam hati kita, serta nilai ukur yang membuka diri, sehingga tidak ada dialog yang merupakan cara untuk melakukan pengambilan kesimpulan dari dua arah.

Kita sangat akrab dengan istilah ukhuwah, yang artinya persamaan, keselarasan, dan keserasian. Apabila kata ukhuwah ini kita tambah dengan Islamiyah, berarti mempunyai makna, sebagai berikut:
a.      Persamaan antara sesama muslim.
b.      Persaudaraan yang bersifat Islami.
c.      Persaudaraan yang diikat oleh nilai-nilai Islam dan sebagainya.

Apa pun juga, apabila kita hayati makna ukhuwah maka harus ada semacam getaran awal pada diri kita akan makna persamaan, keakraban, persaudaraan, sebagaimana dalam kamus bahasa Arab kata al-akh dapat berarti bersahabat, intim, atau akrab. Bahkan, kata al-akh dalam Al-­Qur'an dalam bentuk jamak disebut sebanyak 52 kali dalam konteks pengertian yang merujuk pada arti saudara kandung.

Dengan demikian, ketika berbicara, mengulas, bahkan mempraktekkan ukhuwah Islamiyah, yang terkandung di dalamnya suatu upaya diri untuk mencari titik persamaan diantara sesama muslim yang didasarkan pada semangat persaudaraan. Banyak orang melupakan makna persamaan ini, sehingga mereka selalu terperangkap pada kehendak untuk melakukan suatu percakapan, bahkan perdebatan yang mubazir di daerah perbedaan. Mereka lupa bahwa berbantahan itu hanya akan melemahkan kekuatan diantara sesama harakah pendakwah.

3. Ta'awun  (Saling Menolong)

Apabila cinta kepada Allah telah menghujam di segenap relung dada seorang muslim, maka sifat ta'awun (saling menolong) merupakan salah satu karakter yang melekat seutuhnya pada dirinya. Menolong memiliki makna mengangkat atau meringankan beban orang lain, baik yang diminta maupun yang tidak diminta. Mengangkat seseorang dari pen­deritaan atau minimal meringankannya, baik dengan harta, jiwa, doa, dan nasihat. Hal itu tidak ada kerugiannya barang sedikit pun, kecuali hanyalah kebaikan belaka.

Itulah sebabnya, ta'awun sebagai dasar falsafah agama begitu me­mentingkan kekuatan yang merupakan tonggak utama bagi kejayaan akhlak setiap pribadi muslim. Cobalah tengok sejenak, mungkinkah kita mampu menolong orang lain, apabila di dalam dada dan sanubari kita tidak tertanam kekuatan akhlak: Jadi titik sentral Islam ini adalah ke­kuatan, karena hanya dengan menjadi kuatlah maka segala sesuatunya dapat terwujud. Compang-campingnya umat Islam sekarang ini karena tidak memiliki kekuatan, tercabut kebanggaan diri sebagai khairul­ummah (yang terbaik), dan hilangnya mahkota jiwa, yaitu semangat jihad.

Ta'awun atau saling menolong tidak murigkin bisa menjadi ke­nyataan, apabila setiap individu dilanda oleh penyakit wahan, yang pengecut dan lemah. Padahal, tidak ada kamusnya bahwa setiap muslim itu harus hidup secara anani, terisolasi, dan tercabut dari kebersamaan dengan saudara semuslim. Tidak pantas seorang muslim perutnya kekenyangan, sedangkan saudaranya atau tetangganya gemetar me­nahan diri dari kelaparan. Sangat tidak etis seorang muslim yang hidup berkemewahan: rumah dengan gaya kastil, berbagai mobil mewah dan mutakhir dipajang di garasi rumah, sedangkan di lain pihak tepat beberapa meter dari rumah mewahnya itu bergumul para kaum lemah dan tidak berdaya (mustad'afin), yang terpuruk di gubuk-gubuk kumuh sambil menjalin mimpi. Lantas bagaimana jika para hartawan itu tidak mempunyai kekuatan moral untuk menolong sesama, saudaranya, lalu apalah arti kemewahan yang Allah karuniakan kepadanya?

Tolong-menolong itu sudah dijadikan satu aksioma dalam agama kita, khususnya tolong-menolong dalam kebaikan (al-birri) dan dalam kecintaan kepada Allah (at-taqwa). Hal ini sebagaimana firman Allah:

"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. " (al-Maa'idah: 2).

Sikap saling menolong tersebut memberikan empat konsepsi bagi setiap anggota jamaah, yaitu sebagai berikut:

a. Dia tidak akan membiarkan saudaranya berbuat zalim maupun menzalimi dirinya.

b. Dia tidak akan makan kenyang apabila di lain pihak saudaranya masih kelaparan. Dia tidaklah pula akan mampu ter­tawa, sementara masih banyak saudaranya yang rnenangis.

c. Dia akan selalu menjadi seorang pionir untuk mengambil inisiatif menolong dan mengangkat sesama saudaranya dari derita dan duka mereka. Meringankannya dari segala beban, mencegahnya dari yang mungkar, walaupun tidak dimintakan pertolongan sekalipun. Karena baginya hidup yang indah adalah kehidupan yang mem­punyai makna dan arti bagi lingkungannya. Dialah manusia yang pertama hadir, ketika ada orang yang tertimpa musibah. Dengan harta, tenaga, lidah, bahkan jiwa raganya, dia pertaruhkan dirinya untuk membela dan menolong sesama saudaranya, dalam arti yang sebenar-benarnya, tanpa mengharap pujian, apalagi tepukan.

d. Jiwanya cepat tergetar setiap melihat penderitaan manusia, karena dia sadar bahwa pada dirinya ada energi batin yang tidak bisa dibiarkan secara mubazir, sehingga selalu mendorong dirinya untuk menyingsingkan lengan baju, dan siap memberikan pertolongan. Sungguh dia ingin menjadi sirajam munira (orang menyentuh mata hati dan menyinari sesamanya). Menjadi lampu yang mempunyai cahaya benderang dan menerangi setiap relung kehidupan dengan syiar Islam melalui sikap dan tindakannya yang nyata.

Sungguh, apabila sikap ta'awun ini sudah menjadi "kegemaran" bagi setiap pribadi muslim, khususnya anggota jamiatul mukmin, maka akan lahirlah harmoni, keseimbangan, dimana yang kuat menjadi pelindung yang lemah, yang kaya menjadi penggembira orang yang miskin, yang berilmu menjadi pelita bagi yang awam. Besar tidak melanda, kecil tidak patut terhina. Inilah sikap ta'awun tersebut. Cobalah bayangkan makna dari doa dalam bersin. Bukankah apabila ada orang yang bersin, kemudian dia berkata, "Alhamdulillah." Maka harus kita jawab dengan ucapan atau doa, "Yarhamukullah." Ini juga punya makna global bahwa apabila ada saudaranya yang bersin di Sabang, maka akan segeralah terdengar balasan ucapan yarhamukullah, dari seluruh sau­daranya sampai ke Merauke.

4. Takaful (Saling Bertanggung Jawab)

Hasrat ingin ber-ta'aruf, rindu bersilaturahmi, gandrung ber-ta'awun, sebenarnya dikarenakan kita semua merasakan adanya rasa tanggung jawab terhadap agama, terhadap amanat, dan rasa cinta yang besar terhadap sesama saudara seiman. Perasaan tanggung jawab ini, me­nyebabkan dirinya sangat waspada, dan mempunyai kendali diri yang tinggi untuk menjaga sesama saudaranya dari kehancuran, fitnah, dan celaan. Dia merasakan bahwa dirinya adalah juga bagian dari saudaranya yang lain. Juga merupakan satu tubuh, yang apabila kakinya terinjak duri maka berdenyutlah rasa sakit itu sekujur tubuhnya. Inilah dasar tanggung-jawab setiap muslim untuk menghindari dan sekaligus membentengi saudaranya dari segala cela dan fitnah. Rasulullah saw bersabda:

"Barangsiapa menutupi cela saudaranya, maka Allah Ta'ala akan menutupi celanya di dunia dan akhirat." (HR Ibnu Majah).

Seorang muslim harus pandai sekali menjaga rahasia temannya, penuh amanat apabila diberi titipan, dan penuh tanggung jawab terhadap keselamatan sesama saudara seiman. Bahkan, dalam memegang rahasia, setiap pribadi muslim benar-benar menjaga amanat tersebut. Karena teguhnya memegang suatu rahasia maka ia langsung "mengubur" amanat tersebut dan tidak pernah sedikit pun terbongkar.

Karena rasa tanggung jawab yang diselimuti dengan rasa cinta sesama anggota jamaah, maka ia tidak pernah sedikit pun ingin mengungkit sejarah buruk saudaranya dan membongkar cacat saudaranya sendiri. Rasulullah saw bersabda:

"Janganlah kamu semua meneliti (mencari-cari) kejelekan orang lain, jangan pula mengamat-amatinya, juga janganlah saling memutuskan ikatan, saling menyeteru, dan jadilah hamba Allah yang saling bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim).

Jika seorang muslim mendengar berita dari seseorang tentang perbuatan tercela saudaranya, hendaknya ia berdiam diri. Tidak perlu me­nambah dengan komentar dan tidak pula ikut larut menganalisis dengan penuh buruk sangka (su'uzhan). Sesungguhnya, yang menyebabkan renggangnya tali persaudaraan dan rapuhnya tali cinta adalah perasaan buruk sangka.

Setiap umat Rasul selalu mawas diri, menjaga lidahnya, dan terus-menerus merakit tali persaudaraan diantara sesama muslim. Hal ini tampak dari tekadnya untuk selalu menjadikan dirinya sebagai pembela dan pelindung dari harkat dan derajat sesama muslim. Apabila diberi amanat Allah berupa kekayaan, kekuasaan, atau ilmu pengetahuan, dia tidak akan melupakan sesama saudaranya untuk memberikan bantuan dan pertolongan agar dapat dicarikan jalan keluar bagi saudaranya tersebut.

Kekuasaan, jabatan, dan harta adalah amanat. Dia sadar bahwa semuanya harus mempunyai nilai bagi saudaranya yang seiman. Sebab itu, seorang muslim tidak perhah egois. Dia selalu merindukan saudaranya agar dekat dan akrab dengan dirinya dalam suka dan duka. Apabila dia berkuasa maka sesama saudaranyalah yang dijadikan prioritas untuk dibantunya. Apabila dia punya kelebihan harta maka infak yang dia berikan ditujukan untuk para kerabat saudaranya seiman terlebih dahulu, ini semua menunjukkan rasa takaful dari seorang anggota jamiatul muslimin.

F. Mengibarkan Panji Persaudaraan

Sebagaimana metode (manhaj) yang telah digariskan Rasulullah saw., maka program rekrutmen untuk menambah jumlah saudara seiman itu dimulai dari kelompok terdekat terlebih dahulu. Setiap anggota wajib hadir dalam pertemuan taklim, tarbiyah, dan takwiniyah yang digariskan oleh jamaahnya. Kemudian masing-masing anggota akan berupaya dengan keteladanan akhlaknya merekrut saudaranya terdekat untuk masuk dalam taklim tersebut guna mendapatkan cucuran hikmah dan kemuliaan akhlaknya melalui percikan petunjuk A1-Qur'an.

Jiwa seorang mujahid dakwah akan tampak dalam semangat untuk menyeru dan menarik manusia ke dalam shaf persaudaraan lni. Jiwanya tidak mengenal lelah, tidak mengenal minder, apalagi gentar untuk menawarkan sebuah jalan yang lurus, guna menyelamatkan dari ke­gelapan menuju cahaya. Partikel-partikel ikhwan bertebaran menebarkan cahaya nubuwah dengan memercikkan air rohani yang menyegar­kan tumbuhan yang kering. Kemudian dia tebarkan benih-benih unggul itu dalam taman jamaah yang disiram melalui butiran tarbiyah yang membawa ketenteraman batin (mutma'inah). Sebuah taman miniatur dari kehidupan yang Islami, di mana terlihat dengan sangat jelas ke­akraban, persaudaraan, serta budi luhur yang diikat oleh sebuah ke­rinduan untuk menebarkan rasa damai.

Apabila setiap anggota jamaah mampu membuat perencanaan yang baik dan tepat, serta ditindak-lanjuti melalui program jamaahnya, maka dalam waktu beberapa hari saja akan tampaklah bekas-bekas sujudnya. Yaitu, ketika jami'atul ikhwan sebagai lambang persaudaraan itu ter­wujud dan membawa manfaat kedamaian bagi umat semuanya. Partikel ini bagaikan pecahan sel-sel hidup yang menghidupkan, yang ditata dan dikelola dengan profesional yang terpadu serta kurikulum yang jelas. Niscaya jamaah ini akan mempunyai mujahid dakwah yang bergerak dinamis, yaitu menyeru dan menebarkan benih-benih kesejukan hati.

Panji-panji persaudaraan harus diangkat ke atas sebagai suatu pertanda atau simbol yang memberikan petunjuk bahwa di dalam masyarakat, di mana pun keberadaannya, ada satu kelompok manusia yang menawarkan jasa pelayanan, sebagai bala tentara persaudaraan yang akan memberikan harapan, kesejukan, dan kedamaian bagi umat manusia. Panji-panji ini bagaikan pisau bermata dua, dari segi intern membina anggota muslim untuk menjadikan dirinya manusia berprestasi yang berakhlak mulia melalui berbagai programnya yang ringan dan realistis. Sedangkan segi eksternnya, mereka menyeru bukan meng­hakimi. Ikatan persaudaraan yang berawal dari ucapan dan keyakinan terhadap dua kalimat syahadat harus menjadi dasar pijakan anggota jamaah. Perbedaan dalam metode dakwah, maupun tata cara yang berkaitan dengan khilafiah, bukan suatu alasan untuk memutuskan tali silaturahmi. Keyakinan ini harus melekat dan menghunjam di hati kita semua sebagai seorang muslim yang merindukan satu binaan umat yang padu.

Kita harus mahfum bahwa masyarakat itu selalu berkembang. Tingkat berpikir manusia selalu berkembang. Tingkat berpikir manusia selalu bervariasi. Dan pola perilakunya pun sangat ditentukan oleh intensitas rangsangan (stimulans) yang mempengaruhi dirinya. Maka kewajiban kita semua adalah berlomba untuk memenangkan rangsangan terhadap Al-Qur'an melawan rangsangan non-Al-Qur'an. Hal ini jelas membutuhkan waktu, kesabaran, keuletan, dan toleransi yang amat tinggi. Persaudaraan yang dilandasi roh tauhid, seharusnya lebih di­utamakan daripada berbagai perbedaan yang ada di kalangan umat. Apalagi kalau perbedaan itu hanyalah dalam hal khilafiah, rasanya tidak pantas menjadi penyebab putusnya tali ukhuwah. Begitu pula perbedaan dalam hal metode dakwah, juga tidak boleh mengalahkan roh ukhuwah diantara sesama muslim yang bergerak maju untuk menjayakan al­-Islam. ­

G. Ringankan Jangan Memberatkan

Dakwah dan panji persaudaraan yang diikat oleh tali iman akan menunjuk pada satu sikap iktidal (lurus) dikarenakan para jamaah muslim itu menghayati betul akan berbagai makna ayat di dalam Al-­Qur'an maupun hadits yang mengajak umat manusia untuk berbuat segala sesuatunya termasuk ibadah dalam kondisi yang tu'maninah
ringan dan tidak berlebih-lebihan. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT:

"... Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...." (al-Baqarah: 185).

Apabila Allah sendiri menghendaki perbuatan amaliah yang akan meringankan hamba-Nya, apalagi kita sebagai manusia yang lemah ini, apakah tidak mau peduli dengan kerahmanan-Nya Allah? Hal itu sebagai­mana hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda:

"Jauhilah olehmu sikap melampaui batas dalam agama, sebab orang-­orang sebelum kamu telah binasa karena sikap melampaui batas dalam agama." (HR Ahmad, an Nasa'i, Ibnu Majah, dan Hakim dengan sanad sahih).

Ketika Mu'adz memanjangkan bacaan shalat berjamaah, beliau pun bersabda kepadanya, "Hai Mu'adz, apakah engkau ingin menimbulkan fitnah?" Ucapan ini, beliau ulangi sampai tiga kali. Teguran Rasulullah tersebut terhadap Mu'adz memberikan penegasan kepada kita bahwa janganlah kita melaksanakan suatu syariat agama hanya sekadar meng­ikuti kata hati saja. Akan tetapi, hendaknya selalu ditimbang dengan kadar akal dan kemampuan dari para jama'ah atau kaum muslimin lainnya. Hal ini sebagaimana kebiasaan Rasulullah saw apabila diminta untuk memilih diantara dua pilihan, maka beliau memilih yang lebih ringan selama hal itu tidak mengandung dosa.

Walau demikian, hal ini tentunya tidak melarang seseorang yang karena ingin mencari keutamaan dalam pendekatan (taqarub) kepada Allah, lantas melatih diri dan mencari sesuatu yang lebih utama yang oleh kebanyakan manusia dirasakan berat. Karena hal itu justru merupakan suatu panggilan nurani dalam rangka mencanangkan pembersihan jiwa (tadzkiatun-nafs) melalui berbagai program melatih diri (riyadhah). Hanya saja janganlah amalan yang sifatnya khusus dipaksakan sebagai sesuatu yang bersifat umum, sehingga bisa menumbuhkan berbagai tafsiran seakan-akan agama ini terasa sangat berat bagi pemeluknya yaitu manusia pada umumnya.

Dr Yusuf Qardhawi seorang intelektual dari Mesir --dikenal si'bagai penerus dari kepeloporan Hasan al-Bana--menyebutkan, "Bahwa seorang juru dakwah yang bijaksana adalah yang dapat menyampaikan dakwah­nya dengan sehalus-halus cara dan selunak-lunak kata, tanpa mengurangi sedikit pun dari kandungan maknanya kepada orang."

Sedangkan Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulummuddin menyebutkan, "Tidaklah seseorang layak ber-amar maruf nahi munkar, kecuali ia bersikap lemah lembut dalam menyuruh berbuat baik dan lebih lembut dalam mencegah kemungkaran, dan benar-benar memahami apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya."

Suatu saat, seseorang mendatangi dan mendakwahi Sultan al-Makmun agar ia berbuat baik dan menghindari kemungkaran. Akan tetapi, cara yang disampaikannya terasa kasar dan jauh dari sikap kesejukkan. Kemudian al-Makmun yang dikenal oleh orang-orang karena pengetahuannya yang luas dalam agama, maka ia berkata kepadanya, "Wahai Saudaraku, bersikaplah lemah lembut dan santun. Sebab Allah SWT pun telah mengutus orang yang lebih baik darimu (Nabi Musa a.s.) kepada orang yang lebih jahat daripadaku (Fir'aun), dengan perintah-Nya agar bersikap lemah lembut. Diutus-Nya Musa dan Harun untuk menemui dan menegur Fir'aun, seorang yang lebih jahat dari­padaku, seraya berpesan kepadanya kemudian al-Makmun membacakan kepadanya sebuah ayat:

"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Thaha: 43-44).

Dengan cara itu, lelaki yang mendakwahi al-Makmun tersebut terdiam. Dia sadar akan kata dan kalimat yang disampaikannya kepada al-Makmun sebagai suatu sikap yang tidak Islami.

Beberapa orang Yahudi pernah mengolok-olok Rasulullah, mereka menyampaikan salam kepada Rasulullah dengan ucapan, "As-samu­'alaikum," (artinya, matilah engkau), sebagai ganti dari ucapan, "Assalamu'alaikum" (damai sejahtera untukmu). Kemudian Aisyah ra. marah dan membalas ucapan Yahudi itu dengan ucapan yang keras. Sedangkan, Rasulullah saw tidak mengucapkan apa pun kecuali sebuah ucapan pembalasan yaitu "wa'alaikum" (demikian pula atasmu). Setelah itu, beliau menegur Aisyah r a.. seraya bersabda:

"Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bersikap lemah-lembut dalam segala hal." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Siapa saja yang dijauhkan daripadanya sikap lemah lembut adalah orang yang dijauhkan daripadanya segala kebaikan." (HR Muslim).

H. Air Mata dan Amalnya

Malam hari menangis, siang hari bagaikan singa lapar yang "bolak balik" tidak mengenal lelah menundukkan dunia mencari fadilah yang disulut oleh sebuah tekad semangat yang ingin menjadikan dirinya penuh arti, bermanfaat, dan berprestasi. Para ikhwan gampang terenyuh melihat penderitaan kaum mukmin, sehingga kadang-kadang dirinya sendiri tidak begitu diperhatikan demi membela sesama saudaranya. Maka, dalam melatih diri (riyadhak) agar menjadi hati yang tumpah cintanya kepada Allah (mahabbah lillah), tampaklah tetesan air matanya yang mengenang di pelupuk matanya yang merefleksikan rasa cemas dan harap kepada Allah.

Sikap seperti inilal yang difiirmankan oleh Allah SWT: "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu." (al-Isra': 109).

"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?" (an-Najm: 59-60).

Air mata yang bergulir dari kelopak mata dan membasahi kedua pipi para ikhwan, bukanlah suatu gambaran kecengengan, tetapi suatu sikap kelembutan hati dari suatu jihad. Karena bagi para ikhwan sikap yang keras itu tidak selamanya harus dinyatakan dengan cara yang keras. Bahkan sebaliknya, ada semacam moto bahwa pendiriannya tetap keras dan tangguh (istiqamah), tetapi cara mendakwahkannya adalah lemah-lembut menyejukkan.

Di dalam Sunnah Rasulullah saw, tetesan air mata pun mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur, sebagaimana berbagai hadits sahih meriwayatkannya. Rasulullah saw bersabda:

"Andaikan kamu mengetahui sebagaimana yang aku ketahui, niscaya engkau akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis." Seketika itu pula para sahabat menutup muka masing-masing, dan menangis terisak-isak. (HR Bukhari dan Muslim).

Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan pernah masuk ke dalam neraka, seorang yang pernah menangis karena takut kepada Allah. Dan tidak akan dapat berkumpul debu dalam jihad fisabilillah dengan asap neraka Jahanam." (HR at-­Tirmidzi).

Bahkan, cobalah simak dan resapkan dengan sangat mendalam, lalu jadikanlah tujuh tipe manusia yang akan dilindungi Allah kelak di yaumul akhir ini sebagai kepribadian anggota Ikhwanul Muslimin semuanya; sebagaimana sabda Rasulullah saw pada riwayat berikut:

Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, "Ada tujuh macam orang yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-­Nya, pada hari di mana tidak ada naungan (hari kiamat) kecuali naungan Allah, yaitu:

1. Imam (pemimpin) yang adil,
2. pemuda yang tumbuh dan tetap taat beribadah kepada Allah,
3. orang yang hatinya terpaut di masjid,
4. dua orang yang saling mengasihi semata-mata karena Allah, baik ketika berjumpa maupun berpisah,
5. seorang laki-laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan yang cantik maka ia menolaknya dengan berkata, 'Aku takut kepada Allah.'
6. orang yang merahasiakan sedekahnya, sehingga tidak diketahui oleh tangan yang kiri terhadap yang diberikan oleh tangan yang kanan.
7. seorang yang berzikir dengan mengingat kepada Allah dengan seorang diri, kemudian bercucuran air matanya, dan menangis." (HR Bukhari dan Muslim).

Abdullah bin as-Sikhiri r a.. mendatangi Nabi saw, namun beliau dalam keadaan shalat, maka terdengar napas tangisnya, bagaikan suara air mendidih dalam bejana. (HR Abu Daud dan at Tirmidzi).

Ibnu Umar r a. mengatakan bahwa ketika Rasulullah saw. sakit keras dan beliau mengingatkan untuk shalat berjamaah. Lalu Nabi bersabda, "Suruhlah Abu Bakar menjadi imam." Lalu, Siti Aisyah ra. berkata, "Abu Bakar itu seorang yang lembut hatinya, jika membaca Al-­Qur'an, ia tidak dapat menahan tangisnya." Nabi bersabda, "Suruhlah Abu Bakar menjadi imam." (al-Hadits).

Pada riwayat lain, Siti Aisyah ra berkata, "Abu Bakar jika berdiri di tempatmu, orang tidak akan mendengar suaranya karena tangisannya." (HR Bukhari dan Muslim).

Abu Utsman bin Ajlan Albahli r a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, 'Tiada suatu yang sangat disukai Allah dari dua tetesan dan dua bekas, tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tumpah karena mempertahankan agama Allah. Adapun dua bekas ialah bekas dalam perjuangan fisabilillah dan bekas karena melaksanakan kewajiban Allah." (HR at Tirmidzi).

Hendaknya dengan hadits-hadits yang sahih tadi, kita semua dapat meniru dan meresapkannya, sehingga jiwa kita menjadi roh yang ringan karena selalu mampu melepaskan beban dunia, menyucikan diri dan membersihkan segala jelaga kepahitan hidup melalui linangan air mata. Setelah itu, setelah air mata tumpah dan rasa optimis membumbung, maka tegakkan kembali wajahmu. Pandanglah dunia yang menantang ini, kemudian kerahkan segala pikiran, otot tubuh untuk bersimbah keringat. Lalu tundukkanlah segala budaya durjana dan tegakkanlah prestasi gemilang sebagai suatu kewajiban kehidupan nyata yang Islami. Perasaan berdosa terus mengejar, apabila dalam hidup pribadi maupun berjamaah, ternyata kita tidak mampu mewujudkan apa yang dikonsepsikan oleh Al Qur'an. Oleh karena itu, kepada para ikhwan selalu dituntut sebuah jawaban dari pertanyaan yang sangat sederhana, "Mana bukti konkret dari amalmu, mana gerak nyata dari pernyataanmu, mana pula uluran tanganmu yang mampu mengangkat martabat umat?"

Rangkaian pertanyaan ini membutuhkan jawaban dalam bentuk amal yang nyata. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun dari para ikhwan yang berbantah-bantahan, karena berselisih atau berbantahan dalam hal kebenaran yang nyata hanya akan melemahkan persatuan dan tertunda­nya amal yang nyata. Budaya "kami dengar dan aku taat" (sami'na wa atha'na), menjadi satu kepribadian para ikhwan, bukan karena bai'at kepada imam, tetapi karena panduan A1-Qur'an yang mewajibkannya.

Bisa menjadi suatu kelemahan yang sangat nista, apabila kita hanya menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an dan menyimak ratusan hadits. Akan tetapi, hafalan dan pengetahuan kita hanyalah sekadar penyedap retorika, pemanis bahan pidato, dan sekadar pelengkap referensi dalam diskusi belaka, sungguh merugilah mereka. Sikap "kami dengar dan aku taat" terhadap seluruh keputusan majelis dan komitmen jamaah harus me­rasuk pada dada semua ikhwan. Karena hanya dengan sistem seperti inilah, wujud kerja konkret dapat segera terlaksana. Insya Allah.

Dari berbagai penjelasan dan penegasan ayat dan hadits-hadits yang sahih tadi, maka muncullah pertanyaan yang ditujukan kepada para jami'atul ikhwan, yaitu sebagai berikut:

1. Pernahkah engkau melakukan timbangan atas amal baik dan amal buruk, melakukan penilaian mengevaluasikan dan mengadili dirimu sendiri (muhasbatun-nafs)?

2. Pernahkah engkau menangis karena menyesali dosa dan kesalahan­mu? Padahal bukankah lebih baik kita menyesati dosa kita di dunia, daripada kelak kita menyesali setelah di akhirat? Maka, sesekali menangislah sebelum datang hari di mana engkau yang ditangisi.

3. Pernahkah engkau menangisi segala dosa dan kesalahan yang akan melahirkan optimisme dan ketegaran serta kelembutan jiwa.

Harus dihayati oleh pribadi muslim bahwa air mata --yang dimaksud­kan dalam pembahasan ini-- bukan saja tetesan yang bergulir dari pelupuk mata kita karena perasaan dosa dan segaia hal yang bersifat melankolis Ilahiyah. Tetapi, air mata juga merupakan suatu perlambang perasaan empati atas penderitaan para dhuafa. Suatu refleksi jiwa yang tergetar melihat penderitaan, kepincangan, serta ketidakadilan.

I. Rumahtangga Muslim Adalah Benteng Pertama dan Utama

Menghadapi budaya Dajal yang semakin menampakkan bentuknya, dengan mencabut jiwa anak-anak muda dari kerinduan dan kecintaannya kepada Allah. Budaya Dajal menawarkan berbagai kenikmatan dunia, dan kita pun harus menghadapinya dengan pola pendidikan dan ke­biasaan rumah tangga yang Islami (usrah Islamiyah).

Tayangan televisi menawarkan kehidupan hedonistik sekuler. Gerakan pemikiran bebas nilai (freethinking), okultisme sebagai ajaran mistik, tahayul yang menyesatkan, serta obat-obat setan yang ditebarkan di setiap kegiatan para anak-anak muda, merupakan bentuk yang sehari-­hari sangat nyata kita saksikan.

Salah satu usaha preventifnya, tidak lain seluruh keluarga muslim harus mampu membentengi putra-putrinya dari godaan mereka. Yaitu, dengan cara menghidupkan rumah tangga sebagai masyarakat Islam, yaitu miniatur yang di dalamnya ditumbuhkan sunnah dan kebiasaan Islami.

Kebaikan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh upaya para keluarga untuk membina dan menegakkan nilai-nilai Islam dalam ke­hidupan keluarganya sendiri. Pada periode Rasulullah melaksanakan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi (sirriyah), sasaran dakwah yang pertama beliau lakukan adalah menuntun keluarga dan kerabatnya yang terdekat terlebih dahulu, untuk memenuhi perintah Allah. Hal itu sebagaimana firman-Nya:

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka kata­kanlah, 'Sesungguhnya, aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan'…" (asy-Syu'ara: 214-216).

Demikianlah metode awal dakwah Rasulullah yang disambut per­tama kali oleh Khadijah binti Khuwalid yang beriman kepada Allah dan Rasulullah saw. Meyakini, membenarkan, bahkan membela dakwah Rasul dengan mengorbankan seluruh hartanya. Seruan dakwah kepada kerabatnya disambut oleh Ali bin Abi Thalib yang merupakan laki-laki pertama yang menerima seruan Rasulullah untuk memeluk Islam.

Walaupun di zaman sekarang sasaran dakwah yang ditujukan kepada keluarga kadang-kadang lebih sulit dibandingkan dengan seruan kepada orang lain, tetapi para anggota jamaah tidak pernah patah hati. Dia sadar bahwa berbagai faktor psikologis yang berkaitan dengan keluarga dan kerabat terdekat, justru lebih besar tantangannya. Mereka tidak patah hati dengan tantangan keluarganya. Karena hal ini pun sudah menjadi suratan sejarah. Sebagaimana Nabi Nuh as. yang tidak mampu menolong anaknya, ummat Nabi Luth a.s. yang membangkang, bahkan paman Rasul sendiri tidak mampu mendapatkan hidayah dari Allah. Apalagi untuk kualitas manusia seperti kita, apakah karena tantangan keluarga atau ketidak-berhasilan membina keluarga menyebabkan kita surut dari dakwah?

Maka di tengah-tengah badai tantangan dan akhlak para keluarga sendiri yang bisa jadi sangat bertentangan atau jauh dari Sunnah, para anggota jamaah akan tetap tegar menampilkan sosok dirinya sebagai mujahid. Mereka sadar bahwa pendidikan dan keteladanan orangtua, serta rasa hormat dan sikap berdisiplin dalam beragama sejak kanak-­kanak --sebagai pewaris tauhid-- akan sangat jelas mewarnai seluruh perilaku anggota rumah-tangga tersebut. Sehingga, tidak ada alasan baginya untuk memalingkan muka dari tanggung-jawabnya sampai pada batas-batas tertentu, sesuai dengan kemampuannya masing masing.

Hidup yang penuh dengan segala tantangan materiil, godaan ke­nikmatan sekularisme, serta budaya hedonisme, ternyata tidak saja didapatkan di luar pekarangan rumah, sekolah, atau budaya masyarakatnya, tetapi rangsangan itu telah pula memasuki sudut kehidupan yang sangat pribadi yaitu rumah. Kalau bukan karena pendidikan dan ke­teladanan yang istiqamah, niscaya rumah pun akan membusuk sebagai "tempat sampah duniawi" yang rakus. Laser disc, video tape, bahkan program televisi atau film yang jarang sekali, bahkan sama sekali tidak pernah sedikit pun memikirkan akhlak, tidak pelak lagi akan menggoda anggota masyarakat kita yang terkecil ini, yaitu rumah tangga.

Membina rumah tangga muslim (binaa al-usrah al-muslimin), jelas bukan pekerjaan yang gampang. Apalagi kita sadari bahwa betapa pun hebatnya keteladanan orang tua, mereka tidak sepenuhnya dapat diawasi dua puluh empat jam oleh mata orang tuanya yang sangat terbatas, dan didera oleh kesibukan hidup yang padat. Hampir separo dari gerak dan wahana pikiran anak-anak kita menjadi objek dari budaya di luar rumah dengan segala konsekuensinya. Bacaan, pergaulan, peran guru, peng­aruh teman, dan sahabat di sekolah atau klub permainan, semuanya kadang-kadang bagi anak-anak kita dianggap sebagai sesuatu yang membingungkan, terjadi satu benturan nilai.

Antara sesuatu yang ideal (das sollen) dan kenyataan (das sein). Seakan antara teori dan praktek berbenturan, bahkan bertolak-belakang secara diametral antagonistik. Untuk menjadi anak yang Islami, rasanya dia harus terisolasi dari tatanan pergaulan. Untuk menjadi mahasiswa yang Islami, dia akan berhadapan dengan segala perangkat birokrat yang kadang-kadang bertentangan dengan hati nurani. Banyak lagi persoalan yang sangat kompleks dalam sebuah garis nilai yang seakan-akan saling berlawanan. Tetapi, bagi keluarga anggota jami'atul muslimin, kenyataan ini tidaklah membuat dirinya surut. Mereka sadar bahwa untuk meng­gapai surga dan janji kenikmatan yang abadi, bukanlah sebuah per­mainan tanpa perjuangan. Segala konsekuensi telah dia perhitungkan. Segala risiko sudah dia kalkulasi, sekali tauhid tetap tauhid, sekali menata keluarga Islami tidak pantang surut untuk berkompromi dengan budaya jahiliah. Semangat ini yang harus ditanamkan terlebih dahulu kepada seluruh anggota keluarga muslim. Bahwa dia mempunyai jati diri, serta mempunyai sesuatu yang memang berbeda dengan kaum jahiliah.

Semangat dan kekuatan batin para anggota keluarga jamaah me­rupakan "filter'' atau alat penyaring utama keluarga jamaah yang harus ditanamkan kepada seluruh anggota keluarga jamaah. Mereka harus bangga bahwa mereka bukan tipe manusia yang gampang larut karena kebiasaan pergaulan. Mereka tidak merasa terpelanting, dari pergaulan, manakala pergaulan yang ditawarkannya justru bertentangan dengan keyakinannya. Setiap perbedaan bagi para anggota keluarga jamaah dianggapnya sebagai sasaran dakwah. Tidak mungkin dia dipengaruhi ajaran jahiliah, karena justru dirinya harus tampil ke depan mempengaruhi mereka dengan ajaran keselamatan yang akan meluhurkan martabat manusia yang tidak lain adalah al-Islam.

J. Membiasakan Diri

Karena dahsyatnya tantangan di luar lingkungan jami'atul muslimin ini, maka prinsip jamaah mengajarkan kepada seluruh anggotanya agar mereka melatih dan selalu membiasakan diri dalam kebaikan melalui amal-amal jamaah. Misalnya, shalat berjamaah dengan seluruh anggota keluarganya merupakan salah satu ciri amalannya. Makan berjamaah yang diawali dengan doa, dan diakhiri pula dengan saling mendoakan. Sungguh itu adalah suatu kemesraan keluarga yang harus menjadi ciri dan citra keluarga muslim (usrah Islamiyah).

Membiasakan diri mengajak anggota keluarga melakukan perjalanan silaturahmi kepada para kerabat, maupun keluarga sesama jamaah adalah merupakan satu program pembinaan keluarga muslim. Keluarga muslim tidak dibentuk menjadi manusia yang ekstrem atau eksklusif tetapi dilatih dan diajarkan untuk pandai memilih dalam tata pergaulan tanpa memberikan bekas kebencian.

Kalau orang kebanyakan melakukan piknik, mereka pun bisa melakukannya, karena hal itu adalah fitrah manusia. Hanya saja keluarga muslim harus pandai memilih dan merencanakan jenis piknik (rihlah) tersebut, yang jusrtu akan menambah perekat tali kekeluargaannya. Dengan cara ini, mereka dilatih untuk hidup fungsional, tepat guna dan tidak terjebak pada kemubaziran apalagi mempertontonkan kemewahan. Hidup sebagai muslim adalah hidup yang mempunyai program dan arah yang jelas, karena mereka adalah tipe manusia yang dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki jati diri, visi, dan misi llahiah, sebagaimana termaktub pada surat at-Taubah:33, al-Fath:28, dan al-Haqqah: 9.               

Beberapa kebiasaan yang sangat dominan dilakukan oleh anggota keluarga jamaah diantaranya sebagai berikut:

1. Selalu melaksanakan ibadah berjamaah. Bahkan, salah satu tanda-           tanda atau ciri ibadah jamaah adalah mereka yang selalu merindukan shalat berjamaah. Begitu haus dan rindunya mereka akan shalat jamaah maka dia tidak segan-segan mengajak, atau menantikan orang lain agar mereka bisa shalat berjamaah. Apalagi rumah mereka dekat dengan masjid maka secara berombongan, mereka bagaikan lebah menuju sangkar madunya, mereka bergerak menuju masjid terdekat

2. Selalu ada waktu khusus untuk sarana pembinaan dan pengarahan           bagi anggota keluarganya. Dalam pertemuan, orang tua memberikan arahan, sekaligus melakukan dialog dengan seluruh anggota keluarganya.

3. Para anggota keluarga dibiasakan untuk melakukan silaturahmi, dan saling mengenal diantara para ikhwan sesama anggota jamaah agar misi perjuangan serta tali persaudaraan dan kekerabatan tidak terputus, tetapi akan dilanjutkan oleh para putra-putrinya sebagai generasi Qur'ani yang akan meneruskan amanat al-Islam.

4. Bersama anggota keluarga ikut aktif melakukan perjalanan dakwah dengan sesama anggota jamaah (rihlah jama'iyah), sehingga bukan saja selalu terjalin hubungan (ittishal), tetapi juga akan mampu menumbuhkan ukhuwah yang lebih mendalam dalam menghayati semangat dan cita-cita jamaahnya.

5. Dengan menanamkan kebiasaan ini diantara sesama anggota keluarga sendiri maupun bersama dengan keluarga anggota jamaah lain, maka secara tidak sadar tumbuhlah pembinaan terhadap masyarakat muslim (bina'al-mujtama'al muslim) yang secara                      spesifik memberikan kesejukan bagi sekitarnya melalui dakwah amaliah yang simpatik.

Kalau saja para anggota jami'atul muslimin melakukannya dengan konsekuen dan tetap dipimpin oleh niat dan semangat menjayakan agama dan umatnya, maka persatuan umat yang kita rindukan akan segera terwujud. Insya Allah.

No comments:

Post a Comment